Cinta Tanpa Pilihan, Bakti Tanpa Akhir


Namanya tidak sempat dikenal banyak orang. Usianya masih belasan, tapi sudah menjadi tulang punggung keluarga. Sejak ayahnya pergi, dia menggantikan peran yang seharusnya tidak perlu ia pikul—bekerja demi memenuhi kebutuhan rumah, sementara ibunya mencari pekerjaan seadanya agar anak-anaknya tidak kelaparan.

Ia bangun pagi-pagi, bukan untuk belajar di sekolah, tapi untuk mengejar waktu agar tidak telat ke tempat kerja. Tenaganya dibayar murah, tapi cukup untuk membeli beras dan minyak. Itu sudah cukup baginya.

Hingga satu hari, sebuah kecelakaan kerja merenggut nyawanya.

Kami datang ke rumah duka membawa santunan. Tapi yang menyambut kami bukan isak tangis karena kehilangan anak, melainkan tangisan karena kehilangan penopang keluarga. Ibu itu memeluk bungkusan santunan seperti seseorang yang baru saja kehilangan pegangan terakhir dalam hidupnya.

Di rumah itu, suasana bukan sekadar duka. Ada kekosongan. Bukan hanya anak yang pergi, tapi harapan yang ikut dibawa bersama jenazahnya.

Banyak orang bertanya, bagaimana bisa seorang anak yang masih remaja memikul tanggung jawab sebesar itu? Bukankah tugas seorang anak adalah belajar, bermain, dan bermimpi?

Jawabannya tidak sesederhana benar atau salah. Ini adalah kenyataan yang terbentuk dari banyak sisi yang saling bertabrakan.

Mungkin sang ibu tidak berniat menjadikan anaknya sebagai tulang punggung. Tapi ketika ayah pergi dan kebutuhan terus berdatangan, ia tak punya pilihan lain. Ia bekerja serabutan, kadang cukup, seringkali kurang. Dalam keadaan seperti itu, sang anak ikut turun tangan, bukan karena disuruh, tapi karena merasa harus.

Orang tua yang terhimpit kemiskinan sering kali tidak lagi memikirkan masa depan, melainkan hanya hari ini. Dalam situasi ini, anak dianggap sebagai bagian dari perjuangan, bukan prioritas perlindungan.

Tetangga melihat anak itu bekerja dan berkata, “Anak yang bertanggung jawab.” Sekolah tidak bertanya kenapa dia tak hadir. Tidak ada pihak yang menanyakan: “Apakah dia baik-baik saja?”

Di lingkungan yang terbiasa melihat anak-anak bekerja, ekspektasi menjadi bias. Anak bekerja bukan lagi sesuatu yang keliru, tapi dianggap wajar. Padahal tidak semua pekerjaan tumbuh dari kesadaran, sebagian tumbuh dari keterpaksaan.

Tidak semua keluarga punya akses ke bantuan sosial atau pendidikan tentang perencanaan hidup. Banyak yang bahkan tak tahu hak mereka. Ketika tak ada pegangan, satu-satunya harapan justru dipikul oleh yang paling muda dan paling rapuh.

Di banyak keluarga, terutama di lingkungan saya, ada narasi yang terus diulang: “Orangtua sudah berkorban membesarkanmu, sekarang giliranmu mengorbankan hidupmu untuk kami.” Kata-kata itu terdengar penuh cinta, tapi dibaliknya ada tuntutan yang kadang tak adil. Anak-anak yang baru tumbuh dewasa didorong untuk segera merantau, bekerja, dan mengirim uang pulang. Bukan karena mereka siap, tapi karena dianggap harus.

Pengorbanan orang tua yang seharusnya menjadi inspirasi berubah menjadi senjata. Anak-anak tidak lagi punya ruang untuk gagal, mencoba, atau sekadar mencari tahu siapa dirinya. Dalam sistem yang menjadikan balas budi sebagai hukum hidup, mereka kehilangan hak untuk merancang jalan sendiri terlebih dahulu.

Lebih miris lagi, ekspektasi ini tidak selalu lahir dari kemiskinan, tapi dari pola pikir. Bahwa keberhasilan anak diukur dari seberapa besar ia bisa menopang keluarganya secara finansial—bukan dari seberapa utuh ia membangun dirinya.

Pengorbanan yang semestinya tumbuh dari cinta, malah berubah menjadi kewajiban yang disetir rasa bersalah.

                “Kalau kamu tidak kirim uang, berarti kamu tidak ingat perjuangan kami.”

Tidak semua orang tua seperti ini. Tapi cukup banyak hingga lahirlah generasi yang tumbuh dengan kelelahan mental, penuh beban, dan merasa gagal hanya karena memilih membangun hidupnya sendiri terlebih dahulu.

Kisah anak itu mungkin sudah berlalu. Tapi pesan yang tertinggal masih membekas.
Ia pergi bukan sebagai korban takdir semata, tapi sebagai cermin dari kondisi yang bisa dicegah jika kita belajar dan mau berubah.

Untuk kamu yang muda dan tengah merancang hidup: Mulailah bertanya, bukan hanya soal cinta dan karier, tapi juga tentang kesiapanmu menjadi orang tua kelak.

Apakah kamu sudah memahami bahwa membesarkan anak bukan sekadar memberi makan dan pakaian, tapi membangun ruang yang aman bagi mereka untuk tumbuh?

Berumah tangga bukan hanya soal berdua, tapi tentang bagaimana generasi berikutnya akan menjalani hidup. Jika dari awal kita tidak mempersiapkan fondasi ekonomi, pendidikan, dan pola pikir yang sehat, maka besar kemungkinan anak-anak kita akan mengulang beban yang dulu pernah kita pikul—bahkan lebih berat.

Jika kamu ingin anakmu tumbuh sebagai manusia yang utuh, kamu harus menjadi orang tua yang siap memberi tempat tumbuh, bukan sekadar harapan untuk menopang.

Semoga tulisan ini menjadi pengingat—bahwa cinta sejati bukan menuntut pengorbanan, tapi menciptakan ruang bagi orang yang kita cintai untuk hidup dengan utuh.

Jangan Pernah Terlambat

Hari itu ayah meninggal. Bulan Januari, udara sejuk, cuaca gelap tidak menyenangkan. Dalam kamar Rumah Sakit yang sempit, ayah sedang bersandar pada topangan tanganku, ketika tiba-tiba matanya terbeliak dengan pandangan heran yang belum pernah kulihat sebelumnya.

Siluet Anak perempuan dan ayah

Aku yakin, pastilah malaikat kematian telah memasuki kamar itu. Segera setelah itu badan ayah menjadi lemas, terkulai. Kuletakkan kepalanya perlahan-lahan diatas bantal. Kututup kedua matanya. Dan aku berkata kepada ibuku yang duduk berdoa disamping tempat tidur ayah,

mama, sudah selesai. Ayah sudah meninggal.”


Kata-kata ibuku waktu itu membuat aku terkejut. Aku tak akan pernah mengerti, Mengapa kata-kata itulah yang pertama keluar dari mulut ibuku sesaat setelah ayah meninggal. Ia berkata,


oh, ia sangat bangga atas kamu. Ia begitu mencintaimu.”


Entah bagaimana, kata-kata yang beberapa patah ini menyampaikan sesuatu yang sangat penting bagi diriku. Aku tahu ini dari reaksi yang timbul dalam batinku ketika mendengarnya.


Kata-kata itu bagaikan sinar cerah yang tiba-tiba menyala, seperti suatu pikiran mengejutkan yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Namun ada sebuah kepedihan mendalam yang menikam hatiku. Apakah aku baru saja mengenal ayahku setelah dia meninggal, dan justru bukan sewaktu ia masih hidup?


Beberapa saat kemudian dokter mengadakan pemeriksaan untuk memastikan kematian ayah. Aku bersandar pada tembok jauh di sudut kamar, menangis lirih. Seorang perawat datang menghampiriku. Ia memelukku dengan lembut untuk menghiburku. Aku tidak kuasa berbicara melalui lelehan air mataku. Aku mau mengatakan kepadanya,


aku menangis bukan karena ayahku baru saja meninggal. Aku menangis karena ayah tidak pernah mengatakan kepadaku bahwa ia bangga atas diriku. Ia tak pernah mengatakan bahwa ia mencintaiku. Tentu saja, aku seharusnya tahu semua itu. Seharusnya aku tahu betapa besar perananku dalam hidupnya dan betapa aku memenuhi hatinya. Tetapi aku tak pernah tahu. Ia tidak pernah mengatakannya.”