Berjumpa denganmu hari ini. Banyak cerita yang kuingin kamu dengar. Tentang hari yang berganti minggu, tentang bulan yang berganti tahun. Tentang perasaan cinta yang tak bertepi kepadamu.
Dari sini jelas terlihat jalan lingkar mengitari kolam yang makin seksi dengan kesemrawutan. Meski tidak sesemrawut ingatanku yang tumpang tindih antara harapanku untuk memilikimu dan kenyataan bahwa hal tersebut sama sulitnya pelangi mendahului hujan. Para pejalan kaki yang lalu lalang dengan segala aktivitasnya dipenghujung hari, pak Polisi dengan sumpritannya, dan penjual jajanan yang sibuk dengan jajanan olahannya dan tidak peduli dengan suara klakson kendaraan yang menjerit minta didahulukan.
“sudah dimana?”
“di jalan kak. Kakak sudah sampai ya?”
“iya. Okay kalau gitu hati-hati ya.”
“Okay kak.”
Suaramu masih seperti terakhir kali saya dengar, lembut dan penuh keceriaan. Entah kenapa suara yang selalu rindu untuk kudengar ini juga membawa sebaris kenyataan perih yang tidak terucapkan. Sesekali kulihat telpon genggamku hanya untuk memastikan tidak ada satu pesanmu yang tidak dibalas. Para pengunjung datang dan pergi silih berganti, resah dan gelisah pun bergantian menatapku. Kamu muncul. Wajahmu sedikit pucat dengan senyum yang kurindu.
“sudah lama kak?”
“Tidak juga.”
Aku tersenyum menjawabnya. Mungkin sudah lebih satu setengah jam sejak saya duduk disini. Satu setengah jam berarti 90 menit, yang berarti 5400 detik. Satu setengah jam juga sama dengan waktu yang ditempuh dari Makale ke Rantepao dan kembali lagi. Satu setengah jam juga sama dengan waktu yang diperlukan seseorang untuk menghabiskan dua bab Novel ato enam cerpen. Satu setengah jam tersebut belum dikalikan dengan perasaan waktu yang terasa begitu lambat. Namun semua itu mendadak hilang ketika melihat senyum dan sepasang pipi tirusmu.
Kamu duduk didepanku. Diseberang meja ini ada seseorang yang sejak lama ingin kudapatkan. Tidak hanya raga, tapi jiwa juga impian dan masa depan yang selalu kuanggap indah. Aku pun berangan jika kelak kita telah tua. Kita menjadi sepasang kekasih berambut perak yang menggoda semesta di sebuah senja dengan hal-hal yang sederhana; saling beradu pandang, memainkan jemari, dan membicarakan tentang tetangga yang tidak ada habisnya mengingatkan jika tak lagi muda. Bukankah semesta akan iri memandang kita jika seandainya angan itu jadi nyata?
“kamu mau pesan apa?”
“adanya apa?”
Sebenarnya saya kurang setuju dengan pakaianmu. Kamu hanya menggunakan sweater tipis sebagai penghangat, sedangkan kita sama-sama tau udara disini cukup dingin terutama di malam hari. Kusarankan kau memesan sesuatu yang hangat. Makanan atau minuman yang bisa menghangatkanmu dari udara dan cuaca. Kau mengangguk dan memesan roti bakar. Kau memintanya harus hangat dengan nada yang ramah. Seperti anak kecil yang memesan permen kapasnya harus manis dan besar. Kau begitu manis.
“bagaimana kabar jerapahmu?”
Kau menggelengkan kepala. Jerapah yang kumaksud ialah mantan pacarmu yang pertama. Kau menganggapnya ia seekor jerapah. Aku pun begitu. Mungkin sifat cueknya dan dingin wajahnya menggambarkan seekor binatang tertinggi di dunia tersebut. Di suatu pagi di bulan Oktober, kalian mengikatkan diri pada hubungan. Ketika itu aku baru saja terbangun, dan melihat sebuah kabar di sebuah sosial media dengan tampilan birunya.
“padahal dia sabar lho.”
“iya kak, dia sabar banget. Akunya aja yang sering buat masalah. Tapi dia bisa imbangi semuanya.” Kau terkikik menceritakannya.
Ada semacam sihir dalam tawamu yang membuatku jatuh hati padamu dari dulu hingga detik ini. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya, dan tanpa sadar sudah tiga detik aku menatap matamu, menikmati senyum ceriamu.
“bagaimana denganmu kak?”
Aku tersadar dan mengatakan semua berjalan baik-baik saja dan masih tetap sama. Bumi masih berputar, matahari masih terbit dari timur dan terbenam di barat, matahari masih ada di atas dan tanah masih kuinjak. Segalanya baik-baik saja, dan masih tampak sama seperti sebelumnya. Begitu pun hati ini, masih sama saja seperti dulu, mengharapkanmu tanpa tepi.
“kau masih mengharapkannya kembali?” ucapku.
Sesaat malah kau yang tampak termenung. Tatap matamu kosong di waktu yang terasa seabad. Sesaat itu bisa aku bayangkan dan menebak yang macam-macam tentang apa yang kau renungkan. Apakah tentang kenangan indah kalian, ciuman manis pertama dan hangat, ataupun malah sebaliknya. Semuanya terasa berlompatan di kepalaku. Jemariku tanpa sadar mengetuk meja seolah menunggu jawaban.
“sudah tidak kak.”
Seolah ada angin mendesir seperti di tepi pantai. Terlihat bulan dan bintang serta pantulan cahayanya. Beberapa burung camar terbang terbang diantara derunya ombak, dan diujung sama berdiri teguh mercu suar yang menantikan pelautnya kembali pulang. Kau terdiam lagi, aku masih terjebak dengan lamunanku.
“kenapa?” ucapku. Ternyata aku lebih dahulu kembali ke bumi. Aku menegur diammu.
“mungkin bukan jodohnya.”
Aku mengangguk. Ada perasaan senang yang harus ditutupi rapat hingga tampak biasa saja. Mungkin lebih baik jika aku membuat suasana lebih sendu lagi. Tapi mungkin itu akan terlihat agak jahat. Roti bakarmu sampai. Terlihat panas begitu sampai di meja. Untuk ukuran sepuluh menit sampai, pelayanannya sungguh cepat. Roti itu begitu mengoda. Kau memandangnya lebih dahulu, seolah berpikir harus dikoyak dari mana dulu roti bakar ini. Kau cicipi sekali lalu mengatakan suatu hal yang membuatku terkejut.
“Kau tahu kak? Wanita suka laki-laki yang nekat.”
“Maksudnya?”
“Laki-laki yang datang ke rumah lalu membicarakan hal yang serius tentang masa depan.”
“Lalu, kenapa kau mengatakan itu padaku?”
“Aku ingin kamu seperti itu.”
Aku tidak ingin meneruskan topik itu, dan kau pun terus menyantap roti bakar diatas mejamu. Untuk ukuran rata-rata pria sepertiku, bukankah akan melakukan hal yang sama. Terjebak diantara mozaik atau teka-teki yang diciptakan perempuan. Bahkan oleh perempuan yang dicintai. Alhasil aku lebih memilih menatapmu dalam daripada berpikir keras tentang arti dari percakapan kita barusan. Kau tersadar jika aku menatapmu.
“kenapa menatapku seperti itu?”
“aku hanya berpikir.”
“percakapan yang barusan?”
“bukan.”
“lalu apa?”
“kenapa bisa kamu sekurus ini.”
“tolong kak, kamu jangan kurang ajar ya.”
Sekejap aku tertawa dan kau menggelembungkan pipimu seperti ikan buntal.
suatu senja ditepi kolam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar