Beberapa hari lalu, seorang customers kami datang ke perusahaan tempat saya bekerja. Wajahnya lelah, tetapi sorot matanya penuh harapan. Ia ingin mengetahui apakah memungkinkan untuk mendapatkan fasilitas restrukturisasi atas pinjamannya—sebuah pertanyaan yang menandakan adanya beban finansial yang semakin berat.
Saya bertanya apa yang membuatnya membutuhkan fasilitas “khusus” tersebut. Dengan suara pelan namun tegar, ia mulai bercerita: sejak kematian suaminya akhir tahun lalu, kondisinya finansialnya mulai memburuk. Ia tidak memiliki anak kandung yang bisa membantu, sementara anak-anak suaminya dari pernikahan sebelumnya memilih tidak hadir dalam hidupnya.
Di usia senja, ia seharusnya menikmati waktu dengan cucu, bercanda di sore hari tanpa khawatir tentang esok. Tetapi kenyataan berbeda—ia sendiri, menanggung beban yang seharusnya tidak perlu ia pikul sendirian.
Saat mendengar ceritanya, hati saya terasa berat. Penelantaran. Tidak ada penerimaan. Pembiaran. Dibuang. Semua rasa itu bercampur, membentuk perasaan yang sulit dijelaskan.
Apakah cinta tanpa syarat itu benar-benar ada?
Entah sejak kapan kata "ibu tiri" menjadi sebuah label yang membawa jarak emosional. Banyak dari kita tumbuh dengan cerita yang menggambarkan sosok ibu tiri sebagai sosok asing—kadang dingin, kadang antagonis. Seakan hubungan itu tidak pernah bisa benar-benar menjadi "keluarga".
Apakah karena tidak ada ikatan darah? Apakah karena masyarakat telah lama mengajarkan bahwa "ibu tiri" adalah sesuatu yang berbeda dari "ibu"?
Faktanya, tidak semua ibu tiri seperti kisah-kisah dalam dongeng. Ada yang merawat dengan sepenuh hati, ada yang mencintai seperti anak kandungnya sendiri. Tetapi cinta, sesungguhnya, bukan sesuatu yang otomatis hadir—kadang ia butuh ruang untuk tumbuh, dan jika tidak diberikan kesempatan, maka ia mati sebelum sempat mekar.
Ketika Cinta Berhadapan Dengan Keadaan
Kenyataan diatas merupakan fragmen kecil dari sesuatu yang lebih besar – cinta bersyarat. Apakah yang mengikat sebuah hubungan adalah perasaan, ataukah keadaan? Apakah cinta hanya bertahan selama ada struktur yang menopang?
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Saat saya merenungi kisah ibu tersebut, saya bertanya pada diri sendiri:
"Berapa banyak orang di sekitar kita yang mungkin diam-diam merasa dilupakan?"
Mungkin ada seseorang yang kita kenal—tetangga, kerabat jauh, atau bahkan seseorang yang pernah hadir dalam hidup kita tetapi tidak lagi kita pedulikan.
Tidak semua hubungan memiliki ikatan darah, tetapi semua hubungan bisa memiliki ikatan kemanusiaan.
Karena pada akhirnya, tidak ada yang ingin menghabiskan hidupnya dalam kesendirian. Tidak ada yang ingin merasa bahwa di dunia ini, tidak ada seorang pun yang masih melihat keberadaannya.
Mungkin penerimaan bukan sesuatu yang bisa dipaksakan. Tetapi mungkin juga, itu bukan sesuatu yang harus menjadi kemewahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar