Pamit Tanpa Berpamitan

Dapur kecil itu terasa hangat di bawah sentuhan lembut cahaya pagi. Aroma kopi hitam menguar dari cangkir berbahan keramik tua, memenuhi udara dengan keakraban yang sulit tergantikan. Dedi duduk di sudut meja kayu, menggenggam cangkir itu dengan tangan yang mulai terlihat kasar oleh pekerjaan keras selama bertahun-tahun. Pandangannya lurus ke depan, tapi hatinya sibuk memperhatikan setiap gerakan anaknya, Vera.

Vera, seorang perempuan muda yang energik namun sering kali diburu waktu, sibuk mempersiapkan diri untuk berangkat kerja. Rambutnya yang terikat rapi tampak sedikit berantakan di bagian belakang, seperti simbol kecil dari perjuangannya melawan kelelahan. Blazer abu-abu sudah terpasang di bahunya, meski salah satu sisi masih melorot. Vera menatap tas hitamnya, memastikan semua barang penting masuk dengan benar.


siluet seorang putri yang merindukan ayahnya yang sudah meninggal dunia



Dedi menyeruput kopinya pelan, menyadari betapa sunyi pagi ini terasa meski diwarnai suara langkah Vera yang bolak-balik. Ia tahu momen seperti ini, bahkan yang singkat, adalah waktu yang sangat berharga. Dalam benaknya, ia bertanya-tanya apakah Vera ingat kapan terakhir kali mereka benar-benar duduk bersama, tanpa harus terburu-buru.


"Vera, nanti jangan lupa belikan alat cukur di toko ya," katanya, suaranya terdengar hangat meski ada sedikit nada ragu.


Ia tahu betapa sibuknya Vera, dan tak ingin pesan kecilnya tenggelam dalam hiruk pikuk kesibukan.


Vera berhenti sejenak, satu tangan merapikan blazer yang mulai sempurna terpasang.


"Iya, Ayah. Nanti aku belikan," jawabnya cepat, tanpa menatap ayahnya.


Ucapannya terasa seperti sesuatu yang sekadar disampaikan, bukan dijanjikan.


Dedi tersenyum tipis, mencoba mencairkan suasana.


"Jangan sampai lupa, nanti Ayah malah jadi kayak Tarzan," katanya sambil tertawa kecil. Guratan di wajahnya melunak saat ia melihat Vera mengangkat wajahnya.


Vera akhirnya tersenyum, tapi hanya sebentar.


"Tarzan kan masih keren, kok," jawabnya ringan sambil melanjutkan kesibukannya. Mata mereka bertemu, tapi hanya sesaat—dua dunia yang hampir tidak pernah benar-benar bertautan.


Ketika Vera memeriksa jam tangan di pergelangan kirinya, Dedi memperhatikan gerakan itu dengan diam. Ada rasa rindu yang tiba-tiba menghampirinya, bukan hanya rindu pada Vera, tapi juga pada masa-masa ketika waktu seakan berjalan lebih lambat.

"Hati-hati di jalan, Nak. Jangan terlalu buru-buru," katanya, suaranya terasa seperti bisikan kecil yang penuh perhatian.


Vera melangkah ke arah pintu, suara langkahnya terdengar jelas di lantai dapur yang sedikit usang.


"Iya, Ayah. Sampai nanti malam," katanya sambil membuka pintu, cahaya pagi mengiringi langkahnya.


Vera sempat menoleh sebentar, senyum tipis di wajahnya memberikan secercah harapan untuk ayahnya.


Saat pintu tertutup, keheningan kembali menyelimuti dapur kecil itu. Dedi tetap duduk di tempatnya, menatap cangkir kopinya. Ada rasa yang sulit dijelaskan—campuran antara kesepian dan kebanggaan. Dengan perlahan, ia kembali menyeruput kopinya, mencoba menikmati kehangatan yang tersisa, meski tahu hari ini akan terasa lebih panjang dari biasanya.


Pagi itu terasa seperti biasa—tergesa-gesa. Dapur kecil rumah mereka dipenuhi dengan suara langkah Vera yang mondar-mandir, tas kerja tergantung di bahunya sementara satu tangan sibuk memegang ponsel. Cahaya matahari pagi melintas melalui tirai yang tak sepenuhnya tertutup, memberikan nuansa hangat namun tidak cukup untuk meredakan kesibukan Vera.


Dedi duduk di sudut meja makan dengan cangkir kopi yang sudah mulai mendingin. Ia memperhatikan putrinya dengan tenang, meski dalam hatinya ia tahu waktu mereka pagi ini akan sama seperti biasanya—cepat berlalu.


"Ver," panggilnya sambil mengangkat alis, mencoba menarik perhatian di tengah kesibukannya.

 

"Jadi, alat cukurnya udah Ayah bisa pakai belum?"


Vera berhenti sejenak, hanya untuk mengerutkan kening. "Aduh, Ayah… aku lupa!" katanya, 


suaranya penuh rasa bersalah tapi tubuhnya tetap sibuk—mencari kunci yang entah di mana. 


"Maaf banget, Yah. Kemarin benar-benar hectic di kantor."


Dedi tersenyum kecil, lalu mengangguk pelan.


"Hmm, ya udah. Ayah udah kira sih kamu bakal lupa. Besok aja, kalau sempet." Nada bicaranya santai, seolah tidak ingin menambah beban pagi yang sudah berat.


Vera akhirnya menemukan kunci yang ia cari di atas meja.


"Besok deh aku pasti mampir toko, serius. Sekarang aku beneran harus lari. Maaf, ya, Yah," katanya sambil cepat-cepat menyelipkan ponsel ke dalam tas.


Dedi menatap Vera yang sedang memakai sepatunya di ambang pintu. "Hati-hati di jalan. Jangan ngebut. Dan jangan lupa makan siang." Ucapannya sederhana, tapi matanya penuh perhatian.


"Iya, Ayah. Makasih!" jawab Vera singkat sambil melambaikan tangan tanpa menoleh lagi, lalu pintu tertutup dengan suara yang pelan.


Dedi tetap duduk di sana, menatap pintu yang kini sunyi. Ia menghela napas kecil, lalu bergumam, "Dia memang sibuk, tapi ya... siapa yang nggak begitu di umur segitu." Senyumnya tipis, penuh pengertian, sebelum ia melanjutkan menyeruput sisa kopinya yang kini sudah dingin.


Kantor Vera siang itu penuh dengan suara ketikan, dering telepon, dan langkah kaki yang hilir-mudik. Di antara tumpukan dokumen yang menghiasi meja kerjanya, Vera sibuk memindai beberapa laporan yang harus ia selesaikan hari itu. Wajahnya serius, alisnya berkerut seolah mencoba berpacu dengan waktu. Ponselnya, yang tergeletak di sisi meja, bergetar untuk kedua kalinya.


Vera melirik sebentar, lalu mengabaikannya. "Nanti saja," gumamnya pelan sambil kembali mengetik. Namun, tidak lama berselang, ponsel itu kembali bergetar. Kali ini lebih lama, seperti menuntut untuk segera diangkat.


"Siapa lagi sih?" keluh Vera dengan nada jengkel, namun ia tetap membiarkannya tanpa jawaban.


Suasana kantor yang sibuk membuatnya sulit untuk berhenti, apalagi dengan tenggat waktu yang semakin mendesak. Tapi getaran itu tidak berhenti; ponselnya kembali bergetar untuk keempat kalinya, membuat Vera akhirnya menyerah.


Ia mengambil ponsel dengan cepat, menggeser layar untuk menjawab. 


"Halo? Ini siapa ya?" tanyanya, nada suaranya menunjukkan sedikit kesal.


"Apakah ini dengan Vera?" suara dari seberang terdengar serius, bahkan tegang.


"Iya, saya Vera. Ini siapa?" tanya Vera lagi, kini dengan nada yang mulai berubah, sedikit waspada.


"Ini dari IGD Rumah Sakit Umum. Kami ingin mengabarkan bahwa Pak Dedi, ayah Anda, baru saja dilarikan ke rumah sakit karena situasi darurat. Kami memerlukan Anda untuk segera datang."



Kata-kata itu seperti merobohkan dunia Vera. Matanya melebar, dan ia membeku sesaat sebelum tubuhnya bergerak dengan spontan.


"Apa? Ayahku? Oh Tuhan, apa yang terjadi" suaranya bergetar.


Rekan kerja di sekitar mulai memperhatikan, tetapi Vera tidak peduli. Ia berlari menuju pintu keluar dengan langkah tergesa-gesa, melewati meja-meja kerja tanpa menoleh. Nafasnya terasa sesak, pikirannya hanya dipenuhi oleh bayangan ayahnya.


Hingga akhirnya ia mencapai pintu utama kantor, Vera berhenti sejenak, menarik napas panjang meski dadanya terasa sesak.


Matahari siang menyinari kota dengan teriknya, namun bagi Vera, cahaya itu terasa tidak ada artinya. Langkah-langkahnya berderap cepat di sepanjang koridor rumah sakit, menyusuri lantai yang dingin dengan hati yang semakin berat. Suara langkah kaki perawat, gemerincing roda brankar, dan percakapan samar-samar hanya menjadi latar belakang yang tidak ia pedulikan.

Sesampainya di pintu ruang instalasi darurat, Vera terhenti sejenak. Tangannya gemetar, ragu-ragu untuk mendorong pintu itu terbuka. Seluruh tubuhnya dipenuhi ketakutan—takut menghadapi apa yang ada di balik pintu ini. Tapi ia tahu, ia harus masuk.

Begitu ia melangkah masuk, pemandangan yang menyambutnya langsung memukul hatinya tanpa ampun. Ayahnya, Pak Dedi, terbaring diam di ranjang. Mesin di sekitar sudah mati, dan selimut putih menutupi tubuhnya hingga dada. Wajah Pak Dedi terlihat tenang, damai, namun itu hanya membuat kenyataan semakin menyakitkan. Ia telah pergi.

"Ini... tidak mungkin," desis Vera, suaranya nyaris tak terdengar. Namun, rasa kaget segera berubah menjadi isak tangis yang tak tertahan. Kakinya terasa lemas, membuatnya jatuh berlutut di sisi ranjang. "Ayah… Ayah! Bangun, Ayah! Jangan tinggalkan aku!" Teriaknya, menggema di ruangan itu, memecah keheningan yang mencekam.


Perawat yang ada di sudut ruangan memperhatikan Vera dengan wajah penuh empati. Ia tetap berdiri, membiarkan Vera sepenuhnya mengekspresikan kesakitannya tanpa gangguan. Setelah beberapa saat, ketika tangisan Vera mulai mereda meski rasa kehilangan masih membanjiri dirinya, perawat itu akhirnya melangkah mendekat.

Tanpa berkata apa-apa, perawat tersebut berlutut di samping Vera dan memeluknya dengan lembut. Pelukan itu seolah menawarkan sedikit kehangatan di tengah dinginnya kenyataan yang baru saja menghampiri Vera. Vera bersandar dalam pelukan itu, air mata masih mengalir deras di pipinya. Ia menangis, tubuhnya gemetar, namun kehadiran pelukan itu memberinya ruang untuk bernafas—meski hanya sedikit.

Diluar mentari masih setia bersinar, namun rasanya tidak sehangat sebelumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar