Semua Karena Suatu Alasan

Dari 43.000 orang pelamar, kemudian mengerucut menjadi 10.000 orang, dan kini aku menjadi bagian dari 100 orang yang berkumpul untuk penilaian akhir. Ada simulator, uji klaustrofobia, latihan ketangkasan, percobaan mabuk udara. Siapakah diantara kami yang akan melewati ujian akhir tersebut? “Tuhan… buatlah diriku yang terpilih”, begitu aku berdoa.


Lalu… tibalah berita yang menghancurkan itu. NASA akhirnya memilih Christina McAufliffe. Aku kalah… harapanku pudar… impian hidupku hancur… aku mengalami depresi. Rasa percaya diriku lenyap, dan amarah memenuhi perasaanku. Aku mempertanyakan semuanya. Kenapa Tuhan? Kenapa bukan Aku? Bagian diriku yang manakah yang kurang? Mengapa aku diperlakukan kejam seperti itu? Aku mengadu pada ayahku, dan dia menghibur, “semua terjadi karena sebuah alasan”.


Selasa, 28 januari 1986.

aku berkumpul bersama teman-teman untuk melihat peluncuran Challenger. Saat pesawat tersebut melewati menara landasan pacu, aku menantang impianku untuk terakhir kali. Tuhan… sebenarnya aku bersedia melakukan apa saja agar berada di dalam pesawat itu. Kenapa bukan aku? Tak henti-hentinya batinku bertanya…

73 detik kemudian… Tuhan menjawab semua pertanyaanku dan menghapus semua keraguanku saat Challenger meledak dan menewaskan semua penumpangnya. Aku terpana…


ilustrasi pesawat luar angkasa challenger saat lepas landas


aku langsung teringat kata-kata ayahku, “semua terjadi karena suatu alasan”. Aku tidak terpilih dalam penerbangan itu walaupun aku sangat menginginkannya. Ternyata karena Tuhan memiliki alasan lain untu kehadiranku di bumi ini. Aku menang karena aku kalah… aku beruntung karena aku telah mengalami kekecewaan. Aku, Frank Slazak, masih hidup untuk bersyukur pada Tuhan karena tidak semua doaku dikabulkan. Tuhan tidak pernah terlambat… Dia juga tidak tergesa-gesa… karena Dia selalu tepat waktu.


(Setiap kali kita dihadapkan pada suatu persoalan, ketika keinginanmu tidak sesuai harapan, ketika nampaknya kita tidak memiliki harapan... ingatlah semua yg terjadi selalu ada maksudnya)


Senja di Ujung Suara

Ruangan terasa lebih sempit dari biasanya, seolah dinding-dindingnya mendekat, mengurung dua orang yang kini berdiri di sisi berlawanan. Suaminya, masih mengenakan kemeja kerja yang tak lagi punya tempat untuk ia datangi besok, menggenggam selembar surat dengan tangan gemetar.

Amplop terakhir di atas album pernikahan, menyimpan pesan yang mengubah segalanya

Di seberang sana, sang istri memandangnya dengan mata yang tidak lagi berbinar. Keheningan menggantung di antara mereka, begitu kaku hingga suara jam dinding terasa menggema di ruangan. Ia meraih surat itu, membaca sepintas—bukan karena kesalahan, bukan karena kelalaian, hanya angka-angka dan perubahan strategi.

Namun bagi sang istri, yang tertera di kertas itu bukan sekadar keputusan bisnis, melainkan perubahan nasib.

"Apa maksudmu… kamu tidak bekerja lagi?" suaranya bergetar, bukan karena simpati, tetapi karena sesuatu yang lebih dingin.

Hari-hari berlalu dengan perubahan kecil yang semakin terasa. Tidak ada lagi obrolan ringan tentang liburan, tidak ada kebanggaan yang dipamerkan di depan keluarganya. Sebaliknya, saat makan malam bersama keluarga besar, mereka mulai bertanya dengan nada berbeda.

"Sekarang bagaimana? Kamu sudah dapat pekerjaan baru?"

Seakan kehilangan pekerjaannya adalah kehilangan identitasnya.


Dini hari, jalanan masih basah oleh embun, dan lampu-lampu kota berpendar sendu. Di tengah dinginnya pagi, seorang pria duduk di atas motornya, mengenakan jaket hijau dengan logo perusahaan transportasi online yang kini menjadi sumber penghasilannya.

Menjadi ojol bukan keputusan yang diambil dengan mudah—tapi hidup tidak memberi banyak pilihan.

Saat istrinya mengetahui itu, reaksinya tidak seperti yang ia bayangkan. Bukan kesedihan karena kondisi mereka, bukan kekhawatiran akan pendapatan yang tak menentu.

Melainkan air mata yang jatuh karena keputusan suaminya.

"Bukan ini yang aku bayangkan…" suaranya hampir tak terdengar, tetapi dinginnya menusuk lebih tajam dari udara malam.

Hari-hari berlalu, dan suaminya pulang semakin larut. Kadang tak ada makanan di meja, hanya tubuh yang lelah dan perut yang kosong. Tapi ia tetap bekerja, tetap berharap dapur tetap berasap.


Malam itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Di sebuah kamar rumah sakit yang redup, seorang pria terbaring lemah, napasnya terputus-putus, dan tubuhnya lebih kurus dari terakhir kali ia bercermin.

Di kursi di sudut ruangan, istrinya duduk, memandangnya tanpa banyak kata. Ia sudah melewati kesedihan yang berlebihan—tidak ada air mata, tidak ada doa panjang. Hanya keheningan yang memenuhi jarak di antara mereka.

Dokter datang, menjelaskan kondisinya yang semakin memburuk. Hanya beberapa hari berlalu sebelum akhirnya ia menghembuskan napas terakhirnya.

Saat semuanya berakhir, sang istri tidak menangis. Keluarga pun hanya diam, tanpa banyak bicara. Tidak ada kata-kata yang terucap, hanya tatap pasrah yang seakan berkata, mungkin ini yang terbaik.


Waktu berlalu seperti aliran sungai yang tenang, namun terasa lebih dingin. Setelah peringatan 40 hari, hidup berjalan seperti biasa—tidak ada lagi suara motor berhenti di depan rumah, tidak ada lagi percakapan yang terasa hambar.

Hingga suatu sore, di antara kebosanan yang tanpa arah, matanya tertuju pada lemari tua di sudut kamar. Ada sebuah album pernikahan yang selama ini tersimpan tanpa pernah dibuka.

Ia menariknya keluar, duduk di tepi tempat tidur, dan mulai membuka lembar demi lembar. Foto-foto kebahagiaan itu seolah berbicara, memperlihatkan senyuman yang dulu terasa begitu hangat. Namun di antara halaman, ada sesuatu yang lain—sebuah amplop kecil terselip di dalamnya.

"Untuk Istriku."

Dua kata itu membuat jantungnya berdegup lebih cepat. Tangannya gemetar saat mengambilnya, dadanya terasa sesak. Ada apa ini? Kapan suaminya menulisnya?

Ia membuka perlahan.


Tangannya gemetar saat menarik kertas dari dalam amplop. Nafasnya tersendat, seakan tubuhnya tahu lebih dulu bahwa kata-kata di dalamnya akan mengubah segalanya.

"Untuk istriku,"

"Maafkan aku. Aku tidak mampu memberikan yang terbaik untuk membuatmu bahagia. Aku tidak pernah ingin menjadi ojol, tapi aku tidak bisa membiarkan kita kehabisan bahan makanan. Kadang aku pulang larut, tidak ada makanan di meja, aku hanya bisa tidur dalam kelaparan."

Matanya mulai basah, tapi ia tetap membaca.

"Suatu hari aku bertemu seseorang. Dia butuh donor hati, dan aku butuh uang. Aku pikir, kalau aku memberikan bagian tubuhku untuknya, aku bisa memberikan sesuatu yang lebih baik untukmu. Mungkin saja, kamu akan mencintaiku seperti diawal"

Di dalam amplop, terselip sebuah cek senilai lima miliar rupiah—sebuah angka yang menutup perjalanan hidup seorang pria yang hanya ingin dihargai kembali seperti dulu.


Amplop itu tergeletak di pangkuannya, cek senilai lima miliar masih tergenggam di tangan. Ia memandangnya lama, tapi tidak ada rasa lega, tidak ada kebanggaan.

Ia menghela napas, menatap ke luar jendela.

Dulu, ketika suaminya masih ada, ia tidak pernah berpikir bahwa kehilangan bisa terasa seperti ini—bukan duka, bukan kesedihan, tetapi kehampaan yang tidak bisa diabaikan.



Cinta Saja Tidak Cukup

Sore itu merupakan awal dari semuanya.

Sambil menggenggam tanganku dan tangan satunya lagi menarik troli bag yang berisi semua pakaian mama dan saya, kami berjalan keluar dari rumah.

Saya menangis menatap kearah papa, yang sialnya hanya sanggup melihat kami melangkah menjauh.

“kenapa mama dan papa harus cerai?”, tuntut saya setelah kami berada di dalam mobil.

“karna sepanjang umur itu lama… kamu akan paham nanti”, jawab mama saat itu.

Kata orang, seorang ayah adalah pahlawan pertama bagi anak lelakinya dan cinta pertama anak gadisnya. Kamu boleh menyangkalnya tapi pernyataan itu berlaku juga bagiku. Dimataku papa merupakan seorang ayah yang baik, juga seorang suami yang bertanggung jawab.

ilustrasi ketika sebuah hubungan sudah berada di ujung jalan perpisahan

Papa memang sibuk dengan pekerjaannya, tapi itu ia lakukan untuk memastikan saya dan mama tidak kelaparan. Kami jarang keluar untuk sekedar refreshing misalnya makan di restoran atau pergi piknik, tapi saya maklumi itu karna papa memang sedikit workaholic.

Eyang juga sayang sama papa. Baginya papa merupakan sosok menantu yang nyaris sempurna. Papa kehilangan orang tuanya dalam usia yang masih muda sehingga wajar jika ia merindukan kasih saying orang tua, dan eyang melakukannya. Bahkan sering kali saya merasa eyang lebih menyayangi papa dari pada mama yang notabene anaknya sendiri.

Terkadang memang papa dan mama beradu argument, terutama bila di kebun kecil mama di halaman rumah terdapat puntung rokok. Ya, mama cukup mencintai bunga-bunganya dan bekerja keras untuk itu. Tapi sulit bagi saya untuk mengerti bahwa sepotong puntung rokok bekas bisa menyulut api kejengkelan di dalam diri mama.

Tapi selain dari pada itu mereka cukup akur, dan saling mencintai selayaknya seperti sepasang suami istri. Setidaknya itu yang tampak dimataku hingga sore itu.

Beberapa tahun kemudian hadir papa tiri. Orangnya baik dan cukup ramah.

Saya ingat bila mama memasak sesuatu yang sedikit spesial untuk makan malam kami, papa tiri akan mengajak saya untuk menunggu di meja makan sambil membicarakan tentang banyak hal, seperti sekolah saya, teman saya, kegiatan ekskul apa yang sy ikuti, hingga bakat minat saya.

Kalau mereka sedang bepergian, ya mereka suka bepergian berdua jika saya tidak dapat ikut, biasanya selalu ada jenis tangkai bunga baru mereka bawa pulang. Papa tiri juga hafal semua jenis bunga yang mama tanam dan bagaimana merawatnya.

Hari ini saya mendengar kabar bahwa mama masuk rumah sakit jadi saya bergegas menyusul kesana. Dalam perjalanan saya berharap semoga mama baik-baik saja.

Setelah mendapat petunjuk kamar mana mama dirawat sy pun menuju kesana. Perlahan pintu ruangan ku buka. Ternyata mama tidak sendirian, diseberangnya ada juga pasien lain yang sedang berbaring. Di meja dekat tempat tidur mama ada buah yang sudah dibersihkan dan dipotong-potong diatas piring, sedangkan papa tiri duduk disebelahnya sambil membaca buku. Pasien satunya lagi sedang melirik kearah mama dengan tatapan iri, dan akhirnya aku mengerti maksud mama bahwa sepanjang umur itu lama.

Ternyata cinta saja tidak cukup, rasa nyaman lah yang diinginkan setiap orang. Sama seperti membeli sepasang sepatu, kita baru bisa merasakan nyamannya setelah kita memakainya, tidak cukup hanya dengan melihat keindahannya saja. Karena seumur hidup itu terlalu panjang.

Berjumpa Denganmu

Berjumpa denganmu hari ini. Banyak cerita yang kuingin kamu dengar. Tentang hari yang berganti minggu, tentang bulan yang berganti tahun. Tentang perasaan cinta yang tak bertepi kepadamu.

Dari sini jelas terlihat jalan lingkar mengitari kolam yang makin seksi dengan kesemrawutan. Meski tidak sesemrawut ingatanku yang tumpang tindih antara harapanku untuk memilikimu dan kenyataan bahwa hal tersebut sama sulitnya pelangi mendahului hujan. Para pejalan kaki yang lalu lalang dengan segala aktivitasnya dipenghujung hari, pak Polisi dengan sumpritannya, dan penjual jajanan yang sibuk dengan jajanan olahannya dan tidak peduli dengan suara klakson kendaraan yang menjerit minta didahulukan.


Siluet Sepasang kekasih di bawah pohon menikmati sunset

Udara dingin perlahan mencoba menyelinap diantara lamunanku, sisa matahari sore perlahan meredup berganti langit malam yang masih malu-malu  menampakkan dirinya. Waktu terasa lambat berputar dalam masa penantian. Sangat lambat.


“sudah dimana?”


“di jalan kak. Kakak sudah sampai ya?”


“iya. Okay kalau gitu hati-hati ya.”


“Okay kak.”


Suaramu masih seperti terakhir kali saya dengar, lembut dan penuh keceriaan. Entah kenapa suara yang selalu rindu untuk kudengar ini juga membawa sebaris kenyataan perih yang tidak terucapkan. Sesekali kulihat telpon genggamku hanya untuk memastikan tidak ada satu pesanmu yang tidak dibalas. Para pengunjung datang dan pergi silih berganti, resah dan gelisah pun bergantian menatapku. Kamu muncul. Wajahmu sedikit pucat dengan senyum yang kurindu.


“sudah lama kak?”


“Tidak juga.”


Aku tersenyum menjawabnya. Mungkin sudah lebih satu setengah jam sejak saya duduk disini. Satu setengah jam berarti 90 menit, yang berarti 5400 detik. Satu setengah jam juga sama dengan waktu yang ditempuh dari Makale ke Rantepao dan kembali lagi. Satu setengah jam juga sama dengan waktu yang diperlukan seseorang untuk menghabiskan dua bab Novel ato enam cerpen. Satu setengah jam tersebut belum dikalikan dengan perasaan waktu yang terasa begitu lambat. Namun semua itu mendadak hilang ketika melihat senyum dan sepasang pipi tirusmu.


Kamu duduk didepanku. Diseberang meja ini ada seseorang yang sejak lama ingin kudapatkan. Tidak hanya raga, tapi jiwa juga impian dan masa depan yang selalu kuanggap indah. Aku pun berangan jika kelak kita telah tua. Kita menjadi sepasang kekasih berambut perak yang menggoda semesta di sebuah senja dengan hal-hal yang sederhana; saling beradu pandang, memainkan jemari, dan membicarakan tentang tetangga yang tidak ada habisnya mengingatkan jika tak lagi muda. Bukankah semesta akan iri memandang kita jika seandainya angan itu jadi nyata?


“kamu mau pesan apa?”


“adanya apa?”


Sebenarnya saya kurang setuju dengan pakaianmu. Kamu hanya menggunakan sweater tipis sebagai penghangat, sedangkan kita sama-sama tau udara disini cukup dingin terutama di malam hari. Kusarankan kau memesan sesuatu yang hangat. Makanan atau minuman yang bisa menghangatkanmu dari udara dan cuaca. Kau mengangguk dan memesan roti bakar. Kau memintanya harus hangat dengan nada yang ramah. Seperti anak kecil yang memesan permen kapasnya harus manis dan besar. Kau begitu manis.


“bagaimana kabar jerapahmu?”


Kau menggelengkan kepala. Jerapah yang kumaksud ialah mantan pacarmu yang pertama. Kau menganggapnya ia seekor jerapah. Aku pun begitu. Mungkin sifat cueknya dan dingin wajahnya menggambarkan seekor binatang tertinggi di dunia tersebut. Di suatu pagi di bulan Oktober, kalian mengikatkan diri pada hubungan. Ketika itu aku baru saja terbangun, dan melihat sebuah kabar di sebuah sosial media dengan tampilan birunya.


“padahal dia sabar lho.”


“iya kak, dia sabar banget. Akunya aja yang sering buat masalah. Tapi dia bisa imbangi semuanya.” Kau terkikik menceritakannya.


Ada semacam sihir dalam tawamu yang membuatku jatuh hati padamu dari dulu hingga detik ini. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya, dan tanpa sadar sudah tiga detik aku menatap matamu, menikmati senyum ceriamu.


“bagaimana denganmu kak?”


Aku tersadar dan mengatakan semua berjalan baik-baik saja dan masih tetap sama. Bumi masih berputar, matahari masih terbit dari timur dan terbenam di barat, matahari masih ada di atas dan tanah masih kuinjak. Segalanya baik-baik saja, dan masih tampak sama seperti sebelumnya. Begitu pun hati ini, masih sama saja seperti dulu, mengharapkanmu tanpa tepi.


“kau masih mengharapkannya kembali?” ucapku.


Sesaat malah kau yang tampak termenung. Tatap matamu kosong di waktu yang terasa seabad. Sesaat itu bisa aku bayangkan dan menebak yang macam-macam tentang apa yang kau renungkan. Apakah tentang kenangan indah kalian, ciuman manis pertama dan hangat, ataupun malah sebaliknya. Semuanya terasa berlompatan di kepalaku. Jemariku tanpa sadar mengetuk meja seolah menunggu jawaban.


“sudah tidak kak.”


Seolah ada angin mendesir seperti di tepi pantai. Terlihat bulan dan bintang serta pantulan cahayanya. Beberapa burung camar terbang terbang diantara derunya ombak, dan diujung sama berdiri teguh mercu suar yang menantikan pelautnya kembali pulang. Kau terdiam lagi, aku masih terjebak dengan lamunanku.


“kenapa?” ucapku. Ternyata aku lebih dahulu kembali ke bumi. Aku menegur diammu.


“mungkin bukan jodohnya.”


Aku mengangguk. Ada perasaan senang yang harus ditutupi rapat hingga tampak biasa saja. Mungkin lebih baik jika aku membuat suasana lebih sendu lagi. Tapi mungkin itu akan terlihat agak jahat. Roti bakarmu sampai. Terlihat panas begitu sampai di meja. Untuk ukuran sepuluh menit sampai, pelayanannya sungguh cepat. Roti itu begitu mengoda. Kau memandangnya lebih dahulu, seolah berpikir harus dikoyak dari mana dulu roti bakar ini. Kau cicipi sekali lalu mengatakan suatu hal yang membuatku terkejut.


“Kau tahu kak? Wanita suka laki-laki yang nekat.”


“Maksudnya?”


“Laki-laki yang datang ke rumah lalu membicarakan hal yang serius tentang masa depan.”


“Lalu, kenapa kau mengatakan itu padaku?”


“Aku ingin kamu seperti itu.”


Aku tidak ingin meneruskan topik itu, dan kau pun terus menyantap roti bakar diatas mejamu. Untuk ukuran rata-rata pria sepertiku, bukankah akan melakukan hal yang sama. Terjebak diantara mozaik atau teka-teki yang diciptakan perempuan. Bahkan oleh perempuan yang dicintai. Alhasil aku lebih memilih menatapmu dalam daripada berpikir keras tentang arti dari percakapan kita barusan. Kau tersadar jika aku menatapmu.


“kenapa menatapku seperti itu?”


“aku hanya berpikir.”


“percakapan yang barusan?”


“bukan.”


“lalu apa?”


“kenapa bisa kamu sekurus ini.”


“tolong kak, kamu jangan kurang ajar ya.”


Sekejap aku tertawa dan kau menggelembungkan pipimu seperti ikan buntal.





suatu senja ditepi kolam

Indomie Satu Setengah

Semenyedihkan kedengarannya, kesadaran mendadak bahwa saya pun pernah menjadi ‘indomie setengah’ ini memang cukup menyakitkan.


Suatu hari seseorang mengatakan padaku, memiliki kekasih itu seperti kita akan menikmati indomie. Kalau satu saja tidak cukup, tetapi kalau dua malah kebanyakan. Saya sempat takjub dengan tagline tersebut. Penggambaran yang sederhana tetapi lugas untuk urusan perasaan yang konon kata orang sulit dijelaskan dengan kata-kata.


Saya tercengang, lalu bertanya, “setengah itu maksudnya bagaimana?”


Jawabnya enteng,” ya, yang satunya lagi nggak usah dipacarin.”


Orang ini memang hanya menginginkan ‘setengah’ dari diri saya belaka. Percakapan-percakapan sampai jam tiga subuh, video call disela kesibukan, pesan singkat menanyakan kabar saat menyantap makanan, pujian-pujian dan dorongan semangat, serta kesenangan-kesenangan lainnya yang saya sediakan secara cuma-cuma. Dia mungkin tidak ingin – atau bahkan tidak menyadari – bagian setengahnya lagi, bahwa saya sangat menyayanginya sampai ke tulang-tulang.


ilustrasi orang yang bersama sahabatnya namun juga memiliki perasaan yang lebih dari sekedar sahabat


Saya sangat menyayanginya dan lama-lama lelah juga menahan-nahan perasaan sedih melihatnya bersama ‘indomie satu’-nya.


Kisah ‘indomie satu setengah’ ini kadang masih suka terlintas walaupun sudah usai ceritanya sejak kemarin-kemarin. Utamanya kalau ada teman yang datang curhat dan meminta saran mengenai permasalahan serupa –entah dalam posisi ‘indomie setengah’ atau bahkan si pemakan indomie itu sendiri.


Ingin sekali saya mengguyurkan air dingin di kepala mereka bahwa cerita semacam itu tentu akan menyakiti hati seseorang bagaimanapun berakhirnya, namun saya juga tidak bisa tega karna saya pun dapat merasakan bagaimana perasaan saat itu. Ujung-ujungnya, saya hanya bisa memeluk mereka sambil berkata, ‘ ya sudah, nikmati saja dulu selagi sempat.’


Lalu, saya akan merasa seperti orang jahat yang telah memberikan stempel pembenaran atas fenomena yang menjengkelkan ini. Yang membuat saya merasa jahat lagi adalah fakta bahwa kenaifan adalah komposisi mutlak dalam resep ‘indomie setengah’ ini. Ah, mungkin ini hanya sementara, mungkin kalau aku bertahan lebih lama lagi, dia akan melihatku sebagai ‘indomie satunya’-nya – ya ampun, menyedihkan juga ya???


Menjadi ‘ indomie setengah’ memang sesuatu yang problematis. Saya tidak benar-benar punya tips dan trik jitu untuk menghindarkan diri dari fenomena ‘indomie satu setengah’ karena semua orang juga sebenarnya maklum kalau perasaan bukan sesuatu yang bisa diatur secara rigid dan saklek. Namun terlepas dari moment-moment pencerahan yang saya alami, saran saya tidak akan jauh-jauh amat dari saran yang bisa ‘ku berikan kepada orang yang patah hati


… bahwa kamu tidak bisa menyelamatkan semua orang, namun kamu bisa menyelamatkan dirimu sendiri


Menyelamatkan diri sendiri tentu bisa termanifestasi menjadi begitu banyak pilihan, misalnya fokus pada pekerjaan, melanjutkan studi, atau malah menuangkannya dalam bentuk karya. Namun yang terpenting adalah itu tadi, iklaskan dia dan hubungan aneh diantaranya agar kita bisa melanjutkan hidup.


Oleh karena itu teman-temanku terkasih, mari kita bersama mengamini bahwa kita ini adalah indomie jumbo! Bahwa kita pantas diperlakukan seperti layaknya indomie jumbo yang satu, utuh, dan mengenyangkan.


Thanks to ‘orang jauh’

I really enjoy the time we spent together

Keledai dan Petani Tua

 

Cerita tentang keledai ternyata tidak hanya cerita mengenai suatu kebodohan saja, akan tetapi cerita seekor keledai juga ada yang mengisahkan tentang sesuatu yang berguna yang dapat kita ambil pelajaran darinya.


Suatu hari keledai milik seorang petani jatuh ke dalam sumur. Sementara si petani, sang pemiliknya, memikirkan apa yang harus dilakukannya.Akhirnya, ia memutuskan bahwa hewan itu sudah tua dan sumur juga perlu ditimbun karena berbahaya. Jadi tidak berguna menolong si keledai. Ia mengajak tetangganya untuk membantu-nya. Mereka membawa sekop dan mulai menyekop tanah ke dalam sumur.



Ketika si keledai menyadari apa yang sedang terjadi, ia meronta-ronta. Tetapi kemudian, ia menjadi diam. Setelah beberapa sekop tanah dituangkan ke dalam sumur, si petani melihat ke dalam sumur dan tercengang melihatnya.Walaupun punggungnya terus ditimpa oleh bersekop-sekop tanah dan kotoran, si keledai melakukan sesuatu yang menakjubkan. Ia mengguncang-guncangkan badannya agar tanah yang menimpa punggungnya turun ke bawah, lalu menaiki tanah itu. Si petani terus menuangkan tanah kotor ke atas punggung hewan itu, namun si keledai juga terus menguncangkan badannya dan kemudian melangkah naik. Si keledai akhirnya bisa meloncat dari sumur dan kemudian melarikan diri.


Renungan:


Kehidupan terus saja menuangkan tanah dan kotoran kepada kita, segala macam tanah dan kotoran. Cara untuk keluar dari "sumur" (kesedihan dan masalah) adalah dengan menguncangkan segala tanah dan kotoran dari diri kita (pikiran dan hati kita) dan melangkah naik dari "sumur" dengan menggunakan hal-hal tersebut sebagai pijakan.


Setiap masalah-masalah kita merupakan satu batu pijakan untuk melangkah. Kita dapat keluar dari "sumur" yang terdalam dengan terus berjuang, jangan pernah menyerah. Guncangkanlah hal-hal negatif yang menimpa dan melangkahlah naik.


Keripik dan Tempe: Sebuah Pengajaran Hidup

Refleksi tentang Kesalahan, Tawa, dan Cara Mendidik dengan Cinta

Dulu, saat masih kecil, ibu pernah menyuruhku membeli keripik tempe di warung. Aku pulang membawa dua hal: keripik, dan tempe. Dengan bangga aku serahkan keduanya, merasa telah menjalankan tugas dengan sempurna. Tapi ibu hanya tertawa.

“Nak, maksud ibu itu keripik tempe, bukan keripik dan tempe.”

Itu bukan momen besar dalam hidupku—tapi maknanya bertahan lama.
Yang paling kuingat bukan kesalahanku, tapi tawa ibu. Ia tidak marah, tidak mengejek, tidak membuatku merasa bodoh. Ia justru memeluk kepolosanku, dan membiarkan aku belajar dengan hangat.

Ketika Anak-anak Salah, Peluang Belajar itu Datang


Tak semua anak seberuntung itu.

Banyak yang tumbuh dalam suasana rumah yang tegang. Di mana satu kesalahan kecil bisa dibalas bentakan, bukan senyuman. Seorang anak yang disuruh membeli "garam dua ribu dan cabai dua kilo" mungkin pulang dengan dua kilo garam dan cabai dua ribu rupiah


Lucu bagi sebagian orang, menakutkan bagi sebagian anak.


Anak Butuh Bimbingan, Bukan Ancaman

Pepatah lama mengatakan:

Anak-anak harus hormat pada orang tua. Tapi orang tua juga harus paham bagaimana anak-anak bertingkah.

Orang tua pernah menjadi anak-anak. Tapi anak-anak belum pernah jadi orang tua. Mereka belajar dari meniru, mengeksplorasi, dan kadang… dari salah paham.

Kalimat seperti:

“Kamu ini bodoh sekali!”
bisa menempel lama di benak mereka—lebih lama dari luka fisik.

Anak-anak belajar dari apa yang mereka alami. Dan ketika yang mereka temui adalah respons yang keras, itu bukan pelajaran—itu trauma.

Apa yang Ingin Kita Wariskan?


Saya pernah duduk di taman, memperhatikan anak-anak berlari, tertawa, bebas. Tapi saya bertanya dalam hati

Apakah mereka juga bisa tertawa seperti ini di rumah?

Masa kecil memang tidak berlangsung selamanya, tetapi kenangannya akan bertahan lama.

Sayangnya, tidak semua anak mengalami hal seperti ini.  



ilustrasi anak-anak sedang bermain di taman bersama dengan teman-temannya



Untuk Semua Orang Tua: Tumbuhkan Cinta Seiring Pertumbuhan Anak

  •  Dengarkan, bukan bentak
  • Ajak bicara, bukan menghukum
  • pahami bahwa kesalahan adalah bagian dari proses belajar
  • rayakan kepolosan sebagai tahap tumbuh, bukan kelemahan

Last But Not Least

Setiap anak adalah lembar kosong yang akan mengisi hidupnya dengan warna. Biarkan mereka menulis kisah pertamanya dengan tawa, bukan trauma. Karena masa kecil bukan tempat untuk luka—

Masa kecil adalah tempat belajar, gagal, dan dicintai apa adanya. 


Pamit Tanpa Berpamitan

Dapur kecil itu terasa hangat di bawah sentuhan lembut cahaya pagi. Aroma kopi hitam menguar dari cangkir berbahan keramik tua, memenuhi udara dengan keakraban yang sulit tergantikan. Dedi duduk di sudut meja kayu, menggenggam cangkir itu dengan tangan yang mulai terlihat kasar oleh pekerjaan keras selama bertahun-tahun. Pandangannya lurus ke depan, tapi hatinya sibuk memperhatikan setiap gerakan anaknya, Vera.

Vera, seorang perempuan muda yang energik namun sering kali diburu waktu, sibuk mempersiapkan diri untuk berangkat kerja. Rambutnya yang terikat rapi tampak sedikit berantakan di bagian belakang, seperti simbol kecil dari perjuangannya melawan kelelahan. Blazer abu-abu sudah terpasang di bahunya, meski salah satu sisi masih melorot. Vera menatap tas hitamnya, memastikan semua barang penting masuk dengan benar.


siluet seorang putri yang merindukan ayahnya yang sudah meninggal dunia



Dedi menyeruput kopinya pelan, menyadari betapa sunyi pagi ini terasa meski diwarnai suara langkah Vera yang bolak-balik. Ia tahu momen seperti ini, bahkan yang singkat, adalah waktu yang sangat berharga. Dalam benaknya, ia bertanya-tanya apakah Vera ingat kapan terakhir kali mereka benar-benar duduk bersama, tanpa harus terburu-buru.


"Vera, nanti jangan lupa belikan alat cukur di toko ya," katanya, suaranya terdengar hangat meski ada sedikit nada ragu.


Ia tahu betapa sibuknya Vera, dan tak ingin pesan kecilnya tenggelam dalam hiruk pikuk kesibukan.


Vera berhenti sejenak, satu tangan merapikan blazer yang mulai sempurna terpasang.


"Iya, Ayah. Nanti aku belikan," jawabnya cepat, tanpa menatap ayahnya.


Ucapannya terasa seperti sesuatu yang sekadar disampaikan, bukan dijanjikan.


Dedi tersenyum tipis, mencoba mencairkan suasana.


"Jangan sampai lupa, nanti Ayah malah jadi kayak Tarzan," katanya sambil tertawa kecil. Guratan di wajahnya melunak saat ia melihat Vera mengangkat wajahnya.


Vera akhirnya tersenyum, tapi hanya sebentar.


"Tarzan kan masih keren, kok," jawabnya ringan sambil melanjutkan kesibukannya. Mata mereka bertemu, tapi hanya sesaat—dua dunia yang hampir tidak pernah benar-benar bertautan.


Ketika Vera memeriksa jam tangan di pergelangan kirinya, Dedi memperhatikan gerakan itu dengan diam. Ada rasa rindu yang tiba-tiba menghampirinya, bukan hanya rindu pada Vera, tapi juga pada masa-masa ketika waktu seakan berjalan lebih lambat.

"Hati-hati di jalan, Nak. Jangan terlalu buru-buru," katanya, suaranya terasa seperti bisikan kecil yang penuh perhatian.


Vera melangkah ke arah pintu, suara langkahnya terdengar jelas di lantai dapur yang sedikit usang.


"Iya, Ayah. Sampai nanti malam," katanya sambil membuka pintu, cahaya pagi mengiringi langkahnya.


Vera sempat menoleh sebentar, senyum tipis di wajahnya memberikan secercah harapan untuk ayahnya.


Saat pintu tertutup, keheningan kembali menyelimuti dapur kecil itu. Dedi tetap duduk di tempatnya, menatap cangkir kopinya. Ada rasa yang sulit dijelaskan—campuran antara kesepian dan kebanggaan. Dengan perlahan, ia kembali menyeruput kopinya, mencoba menikmati kehangatan yang tersisa, meski tahu hari ini akan terasa lebih panjang dari biasanya.


Pagi itu terasa seperti biasa—tergesa-gesa. Dapur kecil rumah mereka dipenuhi dengan suara langkah Vera yang mondar-mandir, tas kerja tergantung di bahunya sementara satu tangan sibuk memegang ponsel. Cahaya matahari pagi melintas melalui tirai yang tak sepenuhnya tertutup, memberikan nuansa hangat namun tidak cukup untuk meredakan kesibukan Vera.


Dedi duduk di sudut meja makan dengan cangkir kopi yang sudah mulai mendingin. Ia memperhatikan putrinya dengan tenang, meski dalam hatinya ia tahu waktu mereka pagi ini akan sama seperti biasanya—cepat berlalu.


"Ver," panggilnya sambil mengangkat alis, mencoba menarik perhatian di tengah kesibukannya.

 

"Jadi, alat cukurnya udah Ayah bisa pakai belum?"


Vera berhenti sejenak, hanya untuk mengerutkan kening. "Aduh, Ayah… aku lupa!" katanya, 


suaranya penuh rasa bersalah tapi tubuhnya tetap sibuk—mencari kunci yang entah di mana. 


"Maaf banget, Yah. Kemarin benar-benar hectic di kantor."


Dedi tersenyum kecil, lalu mengangguk pelan.


"Hmm, ya udah. Ayah udah kira sih kamu bakal lupa. Besok aja, kalau sempet." Nada bicaranya santai, seolah tidak ingin menambah beban pagi yang sudah berat.


Vera akhirnya menemukan kunci yang ia cari di atas meja.


"Besok deh aku pasti mampir toko, serius. Sekarang aku beneran harus lari. Maaf, ya, Yah," katanya sambil cepat-cepat menyelipkan ponsel ke dalam tas.


Dedi menatap Vera yang sedang memakai sepatunya di ambang pintu. "Hati-hati di jalan. Jangan ngebut. Dan jangan lupa makan siang." Ucapannya sederhana, tapi matanya penuh perhatian.


"Iya, Ayah. Makasih!" jawab Vera singkat sambil melambaikan tangan tanpa menoleh lagi, lalu pintu tertutup dengan suara yang pelan.


Dedi tetap duduk di sana, menatap pintu yang kini sunyi. Ia menghela napas kecil, lalu bergumam, "Dia memang sibuk, tapi ya... siapa yang nggak begitu di umur segitu." Senyumnya tipis, penuh pengertian, sebelum ia melanjutkan menyeruput sisa kopinya yang kini sudah dingin.


Kantor Vera siang itu penuh dengan suara ketikan, dering telepon, dan langkah kaki yang hilir-mudik. Di antara tumpukan dokumen yang menghiasi meja kerjanya, Vera sibuk memindai beberapa laporan yang harus ia selesaikan hari itu. Wajahnya serius, alisnya berkerut seolah mencoba berpacu dengan waktu. Ponselnya, yang tergeletak di sisi meja, bergetar untuk kedua kalinya.


Vera melirik sebentar, lalu mengabaikannya. "Nanti saja," gumamnya pelan sambil kembali mengetik. Namun, tidak lama berselang, ponsel itu kembali bergetar. Kali ini lebih lama, seperti menuntut untuk segera diangkat.


"Siapa lagi sih?" keluh Vera dengan nada jengkel, namun ia tetap membiarkannya tanpa jawaban.


Suasana kantor yang sibuk membuatnya sulit untuk berhenti, apalagi dengan tenggat waktu yang semakin mendesak. Tapi getaran itu tidak berhenti; ponselnya kembali bergetar untuk keempat kalinya, membuat Vera akhirnya menyerah.


Ia mengambil ponsel dengan cepat, menggeser layar untuk menjawab. 


"Halo? Ini siapa ya?" tanyanya, nada suaranya menunjukkan sedikit kesal.


"Apakah ini dengan Vera?" suara dari seberang terdengar serius, bahkan tegang.


"Iya, saya Vera. Ini siapa?" tanya Vera lagi, kini dengan nada yang mulai berubah, sedikit waspada.


"Ini dari IGD Rumah Sakit Umum. Kami ingin mengabarkan bahwa Pak Dedi, ayah Anda, baru saja dilarikan ke rumah sakit karena situasi darurat. Kami memerlukan Anda untuk segera datang."



Kata-kata itu seperti merobohkan dunia Vera. Matanya melebar, dan ia membeku sesaat sebelum tubuhnya bergerak dengan spontan.


"Apa? Ayahku? Oh Tuhan, apa yang terjadi" suaranya bergetar.


Rekan kerja di sekitar mulai memperhatikan, tetapi Vera tidak peduli. Ia berlari menuju pintu keluar dengan langkah tergesa-gesa, melewati meja-meja kerja tanpa menoleh. Nafasnya terasa sesak, pikirannya hanya dipenuhi oleh bayangan ayahnya.


Hingga akhirnya ia mencapai pintu utama kantor, Vera berhenti sejenak, menarik napas panjang meski dadanya terasa sesak.


Matahari siang menyinari kota dengan teriknya, namun bagi Vera, cahaya itu terasa tidak ada artinya. Langkah-langkahnya berderap cepat di sepanjang koridor rumah sakit, menyusuri lantai yang dingin dengan hati yang semakin berat. Suara langkah kaki perawat, gemerincing roda brankar, dan percakapan samar-samar hanya menjadi latar belakang yang tidak ia pedulikan.

Sesampainya di pintu ruang instalasi darurat, Vera terhenti sejenak. Tangannya gemetar, ragu-ragu untuk mendorong pintu itu terbuka. Seluruh tubuhnya dipenuhi ketakutan—takut menghadapi apa yang ada di balik pintu ini. Tapi ia tahu, ia harus masuk.

Begitu ia melangkah masuk, pemandangan yang menyambutnya langsung memukul hatinya tanpa ampun. Ayahnya, Pak Dedi, terbaring diam di ranjang. Mesin di sekitar sudah mati, dan selimut putih menutupi tubuhnya hingga dada. Wajah Pak Dedi terlihat tenang, damai, namun itu hanya membuat kenyataan semakin menyakitkan. Ia telah pergi.

"Ini... tidak mungkin," desis Vera, suaranya nyaris tak terdengar. Namun, rasa kaget segera berubah menjadi isak tangis yang tak tertahan. Kakinya terasa lemas, membuatnya jatuh berlutut di sisi ranjang. "Ayah… Ayah! Bangun, Ayah! Jangan tinggalkan aku!" Teriaknya, menggema di ruangan itu, memecah keheningan yang mencekam.


Perawat yang ada di sudut ruangan memperhatikan Vera dengan wajah penuh empati. Ia tetap berdiri, membiarkan Vera sepenuhnya mengekspresikan kesakitannya tanpa gangguan. Setelah beberapa saat, ketika tangisan Vera mulai mereda meski rasa kehilangan masih membanjiri dirinya, perawat itu akhirnya melangkah mendekat.

Tanpa berkata apa-apa, perawat tersebut berlutut di samping Vera dan memeluknya dengan lembut. Pelukan itu seolah menawarkan sedikit kehangatan di tengah dinginnya kenyataan yang baru saja menghampiri Vera. Vera bersandar dalam pelukan itu, air mata masih mengalir deras di pipinya. Ia menangis, tubuhnya gemetar, namun kehadiran pelukan itu memberinya ruang untuk bernafas—meski hanya sedikit.

Diluar mentari masih setia bersinar, namun rasanya tidak sehangat sebelumnya.