Ruangan terasa lebih sempit dari biasanya, seolah dinding-dindingnya mendekat, mengurung dua orang yang kini berdiri di sisi berlawanan. Suaminya, masih mengenakan kemeja kerja yang tak lagi punya tempat untuk ia datangi besok, menggenggam selembar surat dengan tangan gemetar.
Di seberang sana, sang istri memandangnya dengan mata yang tidak lagi berbinar. Keheningan menggantung di antara mereka, begitu kaku hingga suara jam dinding terasa menggema di ruangan. Ia meraih surat itu, membaca sepintas—bukan karena kesalahan, bukan karena kelalaian, hanya angka-angka dan perubahan strategi.
Namun bagi sang istri, yang tertera di kertas itu bukan sekadar keputusan bisnis, melainkan perubahan nasib.
"Apa maksudmu… kamu tidak bekerja lagi?" suaranya bergetar, bukan karena simpati, tetapi karena sesuatu yang lebih dingin.
Hari-hari berlalu dengan perubahan kecil yang semakin terasa. Tidak ada lagi obrolan ringan tentang liburan, tidak ada kebanggaan yang dipamerkan di depan keluarganya. Sebaliknya, saat makan malam bersama keluarga besar, mereka mulai bertanya dengan nada berbeda.
"Sekarang bagaimana? Kamu sudah dapat pekerjaan baru?"
Seakan kehilangan pekerjaannya adalah kehilangan identitasnya.
Dini hari, jalanan masih basah oleh embun, dan lampu-lampu kota berpendar sendu. Di tengah dinginnya pagi, seorang pria duduk di atas motornya, mengenakan jaket hijau dengan logo perusahaan transportasi online yang kini menjadi sumber penghasilannya.
Menjadi ojol bukan keputusan yang diambil dengan mudah—tapi hidup tidak memberi banyak pilihan.
Saat istrinya mengetahui itu, reaksinya tidak seperti yang ia bayangkan. Bukan kesedihan karena kondisi mereka, bukan kekhawatiran akan pendapatan yang tak menentu.
Melainkan air mata yang jatuh karena keputusan suaminya.
"Bukan ini yang aku bayangkan…" suaranya hampir tak terdengar, tetapi dinginnya menusuk lebih tajam dari udara malam.
Hari-hari berlalu, dan suaminya pulang semakin larut. Kadang tak ada makanan di meja, hanya tubuh yang lelah dan perut yang kosong. Tapi ia tetap bekerja, tetap berharap dapur tetap berasap.
Malam itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Di sebuah kamar rumah sakit yang redup, seorang pria terbaring lemah, napasnya terputus-putus, dan tubuhnya lebih kurus dari terakhir kali ia bercermin.
Di kursi di sudut ruangan, istrinya duduk, memandangnya tanpa banyak kata. Ia sudah melewati kesedihan yang berlebihan—tidak ada air mata, tidak ada doa panjang. Hanya keheningan yang memenuhi jarak di antara mereka.
Dokter datang, menjelaskan kondisinya yang semakin memburuk. Hanya beberapa hari berlalu sebelum akhirnya ia menghembuskan napas terakhirnya.
Saat semuanya berakhir, sang istri tidak menangis. Keluarga pun hanya diam, tanpa banyak bicara. Tidak ada kata-kata yang terucap, hanya tatap pasrah yang seakan berkata, mungkin ini yang terbaik.
Waktu berlalu seperti aliran sungai yang tenang, namun terasa lebih dingin. Setelah peringatan 40 hari, hidup berjalan seperti biasa—tidak ada lagi suara motor berhenti di depan rumah, tidak ada lagi percakapan yang terasa hambar.
Hingga suatu sore, di antara kebosanan yang tanpa arah, matanya tertuju pada lemari tua di sudut kamar. Ada sebuah album pernikahan yang selama ini tersimpan tanpa pernah dibuka.
Ia menariknya keluar, duduk di tepi tempat tidur, dan mulai membuka lembar demi lembar. Foto-foto kebahagiaan itu seolah berbicara, memperlihatkan senyuman yang dulu terasa begitu hangat. Namun di antara halaman, ada sesuatu yang lain—sebuah amplop kecil terselip di dalamnya.
"Untuk Istriku."
Dua kata itu membuat jantungnya berdegup lebih cepat. Tangannya gemetar saat mengambilnya, dadanya terasa sesak. Ada apa ini? Kapan suaminya menulisnya?
Ia membuka perlahan.
Tangannya gemetar saat menarik kertas dari dalam amplop. Nafasnya tersendat, seakan tubuhnya tahu lebih dulu bahwa kata-kata di dalamnya akan mengubah segalanya.
"Untuk istriku,"
"Maafkan aku. Aku tidak mampu memberikan yang terbaik untuk membuatmu bahagia. Aku tidak pernah ingin menjadi ojol, tapi aku tidak bisa membiarkan kita kehabisan bahan makanan. Kadang aku pulang larut, tidak ada makanan di meja, aku hanya bisa tidur dalam kelaparan."
Matanya mulai basah, tapi ia tetap membaca.
"Suatu hari aku bertemu seseorang. Dia butuh donor hati, dan aku butuh uang. Aku pikir, kalau aku memberikan bagian tubuhku untuknya, aku bisa memberikan sesuatu yang lebih baik untukmu. Mungkin saja, kamu akan mencintaiku seperti diawal"
Di dalam amplop, terselip sebuah cek senilai lima miliar rupiah—sebuah angka yang menutup perjalanan hidup seorang pria yang hanya ingin dihargai kembali seperti dulu.
Amplop itu tergeletak di pangkuannya, cek senilai lima miliar masih tergenggam di tangan. Ia memandangnya lama, tapi tidak ada rasa lega, tidak ada kebanggaan.
Ia menghela napas, menatap ke luar jendela.
Dulu, ketika suaminya masih ada, ia tidak pernah berpikir bahwa kehilangan bisa terasa seperti ini—bukan duka, bukan kesedihan, tetapi kehampaan yang tidak bisa diabaikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar