Typing From Heart

 


Tahun itu dia mendadak muncul, Xiao Cien namanya. Tampangnya tidak seberapa.

Di bawah dukungan teman sekamar, dengan memaksakan diri aku bersahabat

dengan dia. Secara perlahan, aku mendapati bahwa dia adalah orang yang penuh

pengertian dan lemah lembut.


Hari berlalu, hubungan kami semakin dekat, perasaan di antara kami semakin

menguat, dan juga mendapat dukungan dari teman-teman.


Pada suatu hari di tahun kelulusan kami, dia berkata padaku, "Saya telah

mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi, tetapi di Amerika, dan saya

tidak tahu akan pergi berapa lama, kita bertunangan dulu, bolehkah?"


Mungkin dalam keadaan tidak rela melepas kepergiannya, saya mengangguk.


Oleh karena itu, sehari sesudah hari wisuda, hari itu menjadi hari

pertunangan kami berdua. Setelah bertunangan tidak berapa lama, bersamaan

dengan ucapan selamat dan perasaan berat hati dalam hatiku, dia menaiki

pesawat dan terbang menuju sebuah negara yang asing. Saya juga mendapatkan

sebuah pekerjaan yang bagus, memulai hari bekerja dari jam 9 pagi hingga jam

5 sore. Telepon internasional merupakan cara kami untuk tetap berhubungan

dan melepas kerinduan.


Suatu hari, sebuah hal yang naas terjadi pada diriku. Pagi hari, dalam

perjalanan menuju tempat kerja, sebuah taksi demi menghindari sebuah anjing

di jalan raya, mendadak menikung tajam.....


Tidak tahu lewat berapa lama saya pingsan. Saat siuman telah berada di rumah

sakit, dimana anggota keluarga menunggu mengelilingi tempat tidur saya.

Mereka lantas memanggil dokter.


"Pa?" saya ingin memanggilnya tapi tidak ada suara yg keluar.


Mengapa? Mengapa saya tidak dapat memanggilnya? Dokter mendatangiku dan

memeriksa, suster menyuntikkan sebuah serum ke dalam diriku, mempersilahkan

yang lainnya untuk keluar terlebih dahulu.


Ketika siuman kembali, yang terlihat adalah raut wajah yang sedih dari

setiap orang, sebenarnya apa yang terjadi. Mengapa saya tidak dapat

bersuara?


Ayah dengan sedihnya berkata, "Dokter bilang syaraf kamu mengalami luka,

untuk sementara tidak dapat bersuara, lewat beberapa waktu akan membaik."


"Saya tidak mau!" saya dengan berusaha memukul ranjang, membuka mulut

lebar-lebar berteriak, tapi hanya merupakan sebuah protes yang tidak

bersuara.


Setelah kembali ke rumah, kehidupanku berubah. Suara telepon yang didambakan

waktu itu, merupakan suara yang sangat menakutkan sekarang ini. Saya tidak

lagi keluar rumah, juga menjadi seorang yang menyia-nyiakan diri, ayah mulai

berpikir untuk pindah rumah.


Dan dia? di belahan bumi yang lain, yang diketahui hanyalah saya telah

membatalkan pertunangan kami, setiap telepon darinya tidak mendapatkan

jawaban, setiap surat yang ditulisnya bagaikan batu yang tenggelam ke dasar

lautan.


Dua tahun telah berlalu, saya secara perlahan telah dapat keluar dari masa

yang gelap ini, memulai hidup baru, juga mulai belajar bahasa isyarat untuk

berkomunikasi dengan orang lain.


Suatu hari, Xiao Cien memberitahu bahwa dia telah kembali, sekarang bekerja

sebagai seorang insinyur di sebuah perusahaan. Saya berdiam diri, tidak

mengatakan apapun. Mendadak bel pintu berbunyi, berulang-ulang dan terdengar

tergesa-gesa. Tidak tahu harus berbuat apa, ayah menyeretkan langkah kakinya

yang berat, pergi membuka pintu.


Saat itu, di dalam rumah mendadak hening. Dia telah muncul, berdiri di depan

pintu rumahku. Dia mengambil napas yang dalam, dengan perlahan berjalan ke

hadapanku.


Dengan bahasa isyarat yang terlatih, dia berkata, "Maafkan saya! Saya terlambat satu tahun baru menemuimu. Dalam satu tahun ini, saya berusaha dengan keras untuk mempelajari bahasa isyarat, demi untuk hari ini. Tidak peduli kamu berubah menjadi apapun, selamanya kamu merupakan orang yang paling kucintai. Selain kamu, saya tidak akan mencintai orang lain, menikahlah denganku!"


Cinta dan (tanpa) Syarat

Beberapa hari lalu, seorang customers kami datang ke perusahaan tempat saya bekerja. Wajahnya lelah, tetapi sorot matanya penuh harapan. Ia ingin mengetahui apakah memungkinkan untuk mendapatkan fasilitas restrukturisasi atas pinjamannya—sebuah pertanyaan yang menandakan adanya beban finansial yang semakin berat.

Saya bertanya apa yang membuatnya membutuhkan fasilitas “khusus” tersebut. Dengan suara pelan namun tegar, ia mulai bercerita: sejak kematian suaminya akhir tahun lalu, kondisinya finansialnya mulai memburuk. Ia tidak memiliki anak kandung yang bisa membantu, sementara anak-anak suaminya dari pernikahan sebelumnya memilih tidak hadir dalam hidupnya.

Di usia senja, ia seharusnya menikmati waktu dengan cucu, bercanda di sore hari tanpa khawatir tentang esok. Tetapi kenyataan berbeda—ia sendiri, menanggung beban yang seharusnya tidak perlu ia pikul sendirian.

Saat mendengar ceritanya, hati saya terasa berat. Penelantaran. Tidak ada penerimaan. Pembiaran. Dibuang. Semua rasa itu bercampur, membentuk perasaan yang sulit dijelaskan.

Ilustrasi cinta tanpa syarat dalam hubungan manusia


Apakah cinta tanpa syarat itu benar-benar ada?

Entah sejak kapan kata "ibu tiri" menjadi sebuah label yang membawa jarak emosional. Banyak dari kita tumbuh dengan cerita yang menggambarkan sosok ibu tiri sebagai sosok asing—kadang dingin, kadang antagonis. Seakan hubungan itu tidak pernah bisa benar-benar menjadi "keluarga".

Apakah karena tidak ada ikatan darah? Apakah karena masyarakat telah lama mengajarkan bahwa "ibu tiri" adalah sesuatu yang berbeda dari "ibu"?

Faktanya, tidak semua ibu tiri seperti kisah-kisah dalam dongeng. Ada yang merawat dengan sepenuh hati, ada yang mencintai seperti anak kandungnya sendiri. Tetapi cinta, sesungguhnya, bukan sesuatu yang otomatis hadir—kadang ia butuh ruang untuk tumbuh, dan jika tidak diberikan kesempatan, maka ia mati sebelum sempat mekar.

Ketika Cinta Berhadapan Dengan Keadaan

Kenyataan diatas merupakan fragmen kecil dari sesuatu yang lebih besar – cinta bersyarat. Apakah yang mengikat sebuah hubungan adalah perasaan, ataukah keadaan? Apakah cinta hanya bertahan selama ada struktur yang menopang?

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Saat saya merenungi kisah ibu tersebut, saya bertanya pada diri sendiri:
"Berapa banyak orang di sekitar kita yang mungkin diam-diam merasa dilupakan?"

Mungkin ada seseorang yang kita kenal—tetangga, kerabat jauh, atau bahkan seseorang yang pernah hadir dalam hidup kita tetapi tidak lagi kita pedulikan.

Tidak semua hubungan memiliki ikatan darah, tetapi semua hubungan bisa memiliki ikatan kemanusiaan.

Karena pada akhirnya, tidak ada yang ingin menghabiskan hidupnya dalam kesendirian. Tidak ada yang ingin merasa bahwa di dunia ini, tidak ada seorang pun yang masih melihat keberadaannya.

Mungkin penerimaan bukan sesuatu yang bisa dipaksakan. Tetapi mungkin juga, itu bukan sesuatu yang harus menjadi kemewahan.


Let It Go

Ada satu hal tentang masa lalu yang jarang kita bicarakan: ia tidak benar-benar pergi.

Ia tidak selalu muncul sebagai kenangan yang jelas, tetapi kadang hadir dalam bentuk perasaan yang sulit dijelaskan. Bisa dalam sebuah lagu yang tiba-tiba terdengar di tempat umum, dalam aroma yang mengingatkan kita pada rumah lama, atau bahkan dalam keheningan yang terasa terlalu familiar. Masa lalu memiliki caranya sendiri untuk menemukan kita—bukan untuk menyakiti, tetapi untuk mengingatkan bahwa ia masih ada.

Dan sering kali, kita berpikir bahwa kita telah bergerak jauh darinya. Bahwa waktu sudah cukup untuk membuat segalanya hilang. Tetapi kenyataannya, tidak semua yang berlalu benar-benar pergi.

Ada thread horor tentang bertemu dengan hantu. Namun ada yang lebih menakutkan daripada itu—bertemu dengan kesalahan masa lalu. Kita bisa berlari dari hantu, tetapi kita tidak bisa bersembunyi dari diri sendiri.

                                 ilustrasi orang yang sedang dibayangi masa lalunya

Ketakutan yang Diam-Diam Bertahan

Ketakutan yang diam-diam bertahan sering kali sulit dihadapi daripada rasa takut yang terlihat jelas. Ia tidak berteriak, tidak menuntut perhatian, tetapi bersembunyi dalam keputusan kecil, dalam batas yang kita bangun untuk melindungi diri, dalam cara kita merespon dunia di sekitar kita.

Ia muncul dalam bentuk kehati-hatian yang berlebihan, dalam jarak yang sengaja dibuat, dalam kebutuhan untuk memastikan bahwa tidak ada lagi hal yang bisa menyakiti seperti sebelumnya.

Saat kehidupan menguji kita dengan badai yang begitu besar, kita belajar bertahan. Tetapi setelah badai berlalu, bekasnya tetap tertinggal.

Kita menyadari bahwa meskipun kita telah melewati masa sulit, ada batasan yang mulai kita bangun sendiri. Kita berhati-hati dalam memilih lingkungan, saya menjaga jarak dengan situasi tertentu, kita menghindari hal-hal yang berpotensi menempatkan kita kembali dalam kondisi yang dulu begitu menyakitkan.

Ini bukan karena kita belum sembuh—kita sudah jauh lebih baik. Tetapi bekas luka memiliki suara, dan kadang-kadang, suara itu berbicara lebih keras daripada yang kita inginkan.

Terkadang, saat kehidupan menempatkan kita dalam situasi yang mirip dengan masa lalu itu, muncul rasa takut bahwa semuanya bisa berulang. Pikiran mulai bermain dengan skenario yang paling buruk, dan naluri pertama yang muncul adalah melindungi diri dengan cara apa pun.

Kita membangun tembok—bukan untuk mengisolasi diri, tetapi untuk menjaga agar tidak lagi jatuh ke dalam kesakitan yang sama. Tetapi apakah tembok itu perlindungan, atau justru batasan yang menghalangi kita untuk benar-benar melangkah ke depan?

Berdamai dengan Diri Sendiri

Di suatu tempat, kamu mungkin saja pernah mendengar kalimat seperti ini,”waktu yang lama dan jarak yang jauh dapat menyembuhkan hati yang terluka”. Pepatah ini memiliki artian sebagai cara alami bagi seseorang untuk melepaskan diri dari rasa sakit, memberikan ruang bagi hati dan pikiran beradaptasi, menerima, dan menemukan kedamaian hati.

Saya pernah berpikir bahwa satu-satunya cara untuk benar-benar sembuh adalah melupakan. Tetapi ternyata, melupakan bukanlah solusinya.

Lalu, apakah pepatah tersebut benar sepenuhnya? Itu tergantung. Waktu dan jarak memang bisa membantu mengurangi intensitas luka, tetapi tidak selalu menjamin penyembuhan. Ada luka yang, meskipun bertahun-tahun berlalu dan dunia berubah, tetap terasa karena tidak pernah benar-benar diproses atau diselesaikan.

Luka masa lalu tidak hilang begitu saja. Ia ada di sana—tersimpan dalam ingatan, dalam tindakan yang kita ambil untuk melindungi diri, dalam keputusan-keputusan kecil yang kita buat setiap hari. Tetapi yang lebih penting bukanlah melupakan, melainkan berdamai dengan diri sendiri.

Berdamai dengan diri sendiri berarti menerima bahwa ada bagian dalam hidup yang tidak bisa diubah, bahwa ada kejadian yang memang menyakitkan, bahwa ada pengalaman yang mungkin tidak akan pernah bisa kita hapus sepenuhnya. Tetapi kita memilih untuk tidak membiarkannya mendikte siapa kita hari ini.

Kita tidak lagi membiarkan ketakutan mengendalikan hidup kita, tetapi kita juga tidak mengabaikan keberadaannya. kita belajar untuk berkata kepada diri sendiri: Ya, saya pernah melalui hal yang sulit. Ya, aku pernah merasa ingin menyerah. Tapi aku ada di sini, sekarang, dan aku telah tumbuh.

Let It Go

Penyembuhan bukan hanya soal waktu dan jarak–tetapi juga tentang bagaimana seseorang memilih untuk berdamai dengan dirinya sendiri, menerima apa yang telah terjadi, dan membangun makna baru dari pengalaman itu.

Setiap orang yang pernah menghadapi masa sulit pasti membawa sesuatu darinya—entah itu trauma, kebijaksanaan, ketahanan, atau ketakutan yang diam-diam masih ada.

Dan mungkin, pertanyaan yang paling penting bukanlah bagaimana cara melupakan?, tetapi bagaimana cara berdamai dengan diri sendiri tanpa membiarkan masa lalu mengendalikan masa depan?


Semua Karena Suatu Alasan

Dari 43.000 orang pelamar, kemudian mengerucut menjadi 10.000 orang, dan kini aku menjadi bagian dari 100 orang yang berkumpul untuk penilaian akhir. Ada simulator, uji klaustrofobia, latihan ketangkasan, percobaan mabuk udara. Siapakah diantara kami yang akan melewati ujian akhir tersebut? “Tuhan… buatlah diriku yang terpilih”, begitu aku berdoa.


Lalu… tibalah berita yang menghancurkan itu. NASA akhirnya memilih Christina McAufliffe. Aku kalah… harapanku pudar… impian hidupku hancur… aku mengalami depresi. Rasa percaya diriku lenyap, dan amarah memenuhi perasaanku. Aku mempertanyakan semuanya. Kenapa Tuhan? Kenapa bukan Aku? Bagian diriku yang manakah yang kurang? Mengapa aku diperlakukan kejam seperti itu? Aku mengadu pada ayahku, dan dia menghibur, “semua terjadi karena sebuah alasan”.


Selasa, 28 januari 1986.

aku berkumpul bersama teman-teman untuk melihat peluncuran Challenger. Saat pesawat tersebut melewati menara landasan pacu, aku menantang impianku untuk terakhir kali. Tuhan… sebenarnya aku bersedia melakukan apa saja agar berada di dalam pesawat itu. Kenapa bukan aku? Tak henti-hentinya batinku bertanya…

73 detik kemudian… Tuhan menjawab semua pertanyaanku dan menghapus semua keraguanku saat Challenger meledak dan menewaskan semua penumpangnya. Aku terpana…


ilustrasi pesawat luar angkasa challenger saat lepas landas


aku langsung teringat kata-kata ayahku, “semua terjadi karena suatu alasan”. Aku tidak terpilih dalam penerbangan itu walaupun aku sangat menginginkannya. Ternyata karena Tuhan memiliki alasan lain untu kehadiranku di bumi ini. Aku menang karena aku kalah… aku beruntung karena aku telah mengalami kekecewaan. Aku, Frank Slazak, masih hidup untuk bersyukur pada Tuhan karena tidak semua doaku dikabulkan. Tuhan tidak pernah terlambat… Dia juga tidak tergesa-gesa… karena Dia selalu tepat waktu.


(Setiap kali kita dihadapkan pada suatu persoalan, ketika keinginanmu tidak sesuai harapan, ketika nampaknya kita tidak memiliki harapan... ingatlah semua yg terjadi selalu ada maksudnya)


Senja di Ujung Suara

Ruangan terasa lebih sempit dari biasanya, seolah dinding-dindingnya mendekat, mengurung dua orang yang kini berdiri di sisi berlawanan. Suaminya, masih mengenakan kemeja kerja yang tak lagi punya tempat untuk ia datangi besok, menggenggam selembar surat dengan tangan gemetar.

Amplop terakhir di atas album pernikahan, menyimpan pesan yang mengubah segalanya

Di seberang sana, sang istri memandangnya dengan mata yang tidak lagi berbinar. Keheningan menggantung di antara mereka, begitu kaku hingga suara jam dinding terasa menggema di ruangan. Ia meraih surat itu, membaca sepintas—bukan karena kesalahan, bukan karena kelalaian, hanya angka-angka dan perubahan strategi.

Namun bagi sang istri, yang tertera di kertas itu bukan sekadar keputusan bisnis, melainkan perubahan nasib.

"Apa maksudmu… kamu tidak bekerja lagi?" suaranya bergetar, bukan karena simpati, tetapi karena sesuatu yang lebih dingin.

Hari-hari berlalu dengan perubahan kecil yang semakin terasa. Tidak ada lagi obrolan ringan tentang liburan, tidak ada kebanggaan yang dipamerkan di depan keluarganya. Sebaliknya, saat makan malam bersama keluarga besar, mereka mulai bertanya dengan nada berbeda.

"Sekarang bagaimana? Kamu sudah dapat pekerjaan baru?"

Seakan kehilangan pekerjaannya adalah kehilangan identitasnya.


Dini hari, jalanan masih basah oleh embun, dan lampu-lampu kota berpendar sendu. Di tengah dinginnya pagi, seorang pria duduk di atas motornya, mengenakan jaket hijau dengan logo perusahaan transportasi online yang kini menjadi sumber penghasilannya.

Menjadi ojol bukan keputusan yang diambil dengan mudah—tapi hidup tidak memberi banyak pilihan.

Saat istrinya mengetahui itu, reaksinya tidak seperti yang ia bayangkan. Bukan kesedihan karena kondisi mereka, bukan kekhawatiran akan pendapatan yang tak menentu.

Melainkan air mata yang jatuh karena keputusan suaminya.

"Bukan ini yang aku bayangkan…" suaranya hampir tak terdengar, tetapi dinginnya menusuk lebih tajam dari udara malam.

Hari-hari berlalu, dan suaminya pulang semakin larut. Kadang tak ada makanan di meja, hanya tubuh yang lelah dan perut yang kosong. Tapi ia tetap bekerja, tetap berharap dapur tetap berasap.


Malam itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Di sebuah kamar rumah sakit yang redup, seorang pria terbaring lemah, napasnya terputus-putus, dan tubuhnya lebih kurus dari terakhir kali ia bercermin.

Di kursi di sudut ruangan, istrinya duduk, memandangnya tanpa banyak kata. Ia sudah melewati kesedihan yang berlebihan—tidak ada air mata, tidak ada doa panjang. Hanya keheningan yang memenuhi jarak di antara mereka.

Dokter datang, menjelaskan kondisinya yang semakin memburuk. Hanya beberapa hari berlalu sebelum akhirnya ia menghembuskan napas terakhirnya.

Saat semuanya berakhir, sang istri tidak menangis. Keluarga pun hanya diam, tanpa banyak bicara. Tidak ada kata-kata yang terucap, hanya tatap pasrah yang seakan berkata, mungkin ini yang terbaik.


Waktu berlalu seperti aliran sungai yang tenang, namun terasa lebih dingin. Setelah peringatan 40 hari, hidup berjalan seperti biasa—tidak ada lagi suara motor berhenti di depan rumah, tidak ada lagi percakapan yang terasa hambar.

Hingga suatu sore, di antara kebosanan yang tanpa arah, matanya tertuju pada lemari tua di sudut kamar. Ada sebuah album pernikahan yang selama ini tersimpan tanpa pernah dibuka.

Ia menariknya keluar, duduk di tepi tempat tidur, dan mulai membuka lembar demi lembar. Foto-foto kebahagiaan itu seolah berbicara, memperlihatkan senyuman yang dulu terasa begitu hangat. Namun di antara halaman, ada sesuatu yang lain—sebuah amplop kecil terselip di dalamnya.

"Untuk Istriku."

Dua kata itu membuat jantungnya berdegup lebih cepat. Tangannya gemetar saat mengambilnya, dadanya terasa sesak. Ada apa ini? Kapan suaminya menulisnya?

Ia membuka perlahan.


Tangannya gemetar saat menarik kertas dari dalam amplop. Nafasnya tersendat, seakan tubuhnya tahu lebih dulu bahwa kata-kata di dalamnya akan mengubah segalanya.

"Untuk istriku,"

"Maafkan aku. Aku tidak mampu memberikan yang terbaik untuk membuatmu bahagia. Aku tidak pernah ingin menjadi ojol, tapi aku tidak bisa membiarkan kita kehabisan bahan makanan. Kadang aku pulang larut, tidak ada makanan di meja, aku hanya bisa tidur dalam kelaparan."

Matanya mulai basah, tapi ia tetap membaca.

"Suatu hari aku bertemu seseorang. Dia butuh donor hati, dan aku butuh uang. Aku pikir, kalau aku memberikan bagian tubuhku untuknya, aku bisa memberikan sesuatu yang lebih baik untukmu. Mungkin saja, kamu akan mencintaiku seperti diawal"

Di dalam amplop, terselip sebuah cek senilai lima miliar rupiah—sebuah angka yang menutup perjalanan hidup seorang pria yang hanya ingin dihargai kembali seperti dulu.


Amplop itu tergeletak di pangkuannya, cek senilai lima miliar masih tergenggam di tangan. Ia memandangnya lama, tapi tidak ada rasa lega, tidak ada kebanggaan.

Ia menghela napas, menatap ke luar jendela.

Dulu, ketika suaminya masih ada, ia tidak pernah berpikir bahwa kehilangan bisa terasa seperti ini—bukan duka, bukan kesedihan, tetapi kehampaan yang tidak bisa diabaikan.



Cinta Saja Tidak Cukup

Sore itu merupakan awal dari semuanya.

Sambil menggenggam tanganku dan tangan satunya lagi menarik troli bag yang berisi semua pakaian mama dan saya, kami berjalan keluar dari rumah.

Saya menangis menatap kearah papa, yang sialnya hanya sanggup melihat kami melangkah menjauh.

“kenapa mama dan papa harus cerai?”, tuntut saya setelah kami berada di dalam mobil.

“karna sepanjang umur itu lama… kamu akan paham nanti”, jawab mama saat itu.

Kata orang, seorang ayah adalah pahlawan pertama bagi anak lelakinya dan cinta pertama anak gadisnya. Kamu boleh menyangkalnya tapi pernyataan itu berlaku juga bagiku. Dimataku papa merupakan seorang ayah yang baik, juga seorang suami yang bertanggung jawab.

ilustrasi ketika sebuah hubungan sudah berada di ujung jalan perpisahan

Papa memang sibuk dengan pekerjaannya, tapi itu ia lakukan untuk memastikan saya dan mama tidak kelaparan. Kami jarang keluar untuk sekedar refreshing misalnya makan di restoran atau pergi piknik, tapi saya maklumi itu karna papa memang sedikit workaholic.

Eyang juga sayang sama papa. Baginya papa merupakan sosok menantu yang nyaris sempurna. Papa kehilangan orang tuanya dalam usia yang masih muda sehingga wajar jika ia merindukan kasih saying orang tua, dan eyang melakukannya. Bahkan sering kali saya merasa eyang lebih menyayangi papa dari pada mama yang notabene anaknya sendiri.

Terkadang memang papa dan mama beradu argument, terutama bila di kebun kecil mama di halaman rumah terdapat puntung rokok. Ya, mama cukup mencintai bunga-bunganya dan bekerja keras untuk itu. Tapi sulit bagi saya untuk mengerti bahwa sepotong puntung rokok bekas bisa menyulut api kejengkelan di dalam diri mama.

Tapi selain dari pada itu mereka cukup akur, dan saling mencintai selayaknya seperti sepasang suami istri. Setidaknya itu yang tampak dimataku hingga sore itu.

Beberapa tahun kemudian hadir papa tiri. Orangnya baik dan cukup ramah.

Saya ingat bila mama memasak sesuatu yang sedikit spesial untuk makan malam kami, papa tiri akan mengajak saya untuk menunggu di meja makan sambil membicarakan tentang banyak hal, seperti sekolah saya, teman saya, kegiatan ekskul apa yang sy ikuti, hingga bakat minat saya.

Kalau mereka sedang bepergian, ya mereka suka bepergian berdua jika saya tidak dapat ikut, biasanya selalu ada jenis tangkai bunga baru mereka bawa pulang. Papa tiri juga hafal semua jenis bunga yang mama tanam dan bagaimana merawatnya.

Hari ini saya mendengar kabar bahwa mama masuk rumah sakit jadi saya bergegas menyusul kesana. Dalam perjalanan saya berharap semoga mama baik-baik saja.

Setelah mendapat petunjuk kamar mana mama dirawat sy pun menuju kesana. Perlahan pintu ruangan ku buka. Ternyata mama tidak sendirian, diseberangnya ada juga pasien lain yang sedang berbaring. Di meja dekat tempat tidur mama ada buah yang sudah dibersihkan dan dipotong-potong diatas piring, sedangkan papa tiri duduk disebelahnya sambil membaca buku. Pasien satunya lagi sedang melirik kearah mama dengan tatapan iri, dan akhirnya aku mengerti maksud mama bahwa sepanjang umur itu lama.

Ternyata cinta saja tidak cukup, rasa nyaman lah yang diinginkan setiap orang. Sama seperti membeli sepasang sepatu, kita baru bisa merasakan nyamannya setelah kita memakainya, tidak cukup hanya dengan melihat keindahannya saja. Karena seumur hidup itu terlalu panjang.

Berjumpa Denganmu

Berjumpa denganmu hari ini. Banyak cerita yang kuingin kamu dengar. Tentang hari yang berganti minggu, tentang bulan yang berganti tahun. Tentang perasaan cinta yang tak bertepi kepadamu.

Dari sini jelas terlihat jalan lingkar mengitari kolam yang makin seksi dengan kesemrawutan. Meski tidak sesemrawut ingatanku yang tumpang tindih antara harapanku untuk memilikimu dan kenyataan bahwa hal tersebut sama sulitnya pelangi mendahului hujan. Para pejalan kaki yang lalu lalang dengan segala aktivitasnya dipenghujung hari, pak Polisi dengan sumpritannya, dan penjual jajanan yang sibuk dengan jajanan olahannya dan tidak peduli dengan suara klakson kendaraan yang menjerit minta didahulukan.


Siluet Sepasang kekasih di bawah pohon menikmati sunset

Udara dingin perlahan mencoba menyelinap diantara lamunanku, sisa matahari sore perlahan meredup berganti langit malam yang masih malu-malu  menampakkan dirinya. Waktu terasa lambat berputar dalam masa penantian. Sangat lambat.


“sudah dimana?”


“di jalan kak. Kakak sudah sampai ya?”


“iya. Okay kalau gitu hati-hati ya.”


“Okay kak.”


Suaramu masih seperti terakhir kali saya dengar, lembut dan penuh keceriaan. Entah kenapa suara yang selalu rindu untuk kudengar ini juga membawa sebaris kenyataan perih yang tidak terucapkan. Sesekali kulihat telpon genggamku hanya untuk memastikan tidak ada satu pesanmu yang tidak dibalas. Para pengunjung datang dan pergi silih berganti, resah dan gelisah pun bergantian menatapku. Kamu muncul. Wajahmu sedikit pucat dengan senyum yang kurindu.


“sudah lama kak?”


“Tidak juga.”


Aku tersenyum menjawabnya. Mungkin sudah lebih satu setengah jam sejak saya duduk disini. Satu setengah jam berarti 90 menit, yang berarti 5400 detik. Satu setengah jam juga sama dengan waktu yang ditempuh dari Makale ke Rantepao dan kembali lagi. Satu setengah jam juga sama dengan waktu yang diperlukan seseorang untuk menghabiskan dua bab Novel ato enam cerpen. Satu setengah jam tersebut belum dikalikan dengan perasaan waktu yang terasa begitu lambat. Namun semua itu mendadak hilang ketika melihat senyum dan sepasang pipi tirusmu.


Kamu duduk didepanku. Diseberang meja ini ada seseorang yang sejak lama ingin kudapatkan. Tidak hanya raga, tapi jiwa juga impian dan masa depan yang selalu kuanggap indah. Aku pun berangan jika kelak kita telah tua. Kita menjadi sepasang kekasih berambut perak yang menggoda semesta di sebuah senja dengan hal-hal yang sederhana; saling beradu pandang, memainkan jemari, dan membicarakan tentang tetangga yang tidak ada habisnya mengingatkan jika tak lagi muda. Bukankah semesta akan iri memandang kita jika seandainya angan itu jadi nyata?


“kamu mau pesan apa?”


“adanya apa?”


Sebenarnya saya kurang setuju dengan pakaianmu. Kamu hanya menggunakan sweater tipis sebagai penghangat, sedangkan kita sama-sama tau udara disini cukup dingin terutama di malam hari. Kusarankan kau memesan sesuatu yang hangat. Makanan atau minuman yang bisa menghangatkanmu dari udara dan cuaca. Kau mengangguk dan memesan roti bakar. Kau memintanya harus hangat dengan nada yang ramah. Seperti anak kecil yang memesan permen kapasnya harus manis dan besar. Kau begitu manis.


“bagaimana kabar jerapahmu?”


Kau menggelengkan kepala. Jerapah yang kumaksud ialah mantan pacarmu yang pertama. Kau menganggapnya ia seekor jerapah. Aku pun begitu. Mungkin sifat cueknya dan dingin wajahnya menggambarkan seekor binatang tertinggi di dunia tersebut. Di suatu pagi di bulan Oktober, kalian mengikatkan diri pada hubungan. Ketika itu aku baru saja terbangun, dan melihat sebuah kabar di sebuah sosial media dengan tampilan birunya.


“padahal dia sabar lho.”


“iya kak, dia sabar banget. Akunya aja yang sering buat masalah. Tapi dia bisa imbangi semuanya.” Kau terkikik menceritakannya.


Ada semacam sihir dalam tawamu yang membuatku jatuh hati padamu dari dulu hingga detik ini. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya, dan tanpa sadar sudah tiga detik aku menatap matamu, menikmati senyum ceriamu.


“bagaimana denganmu kak?”


Aku tersadar dan mengatakan semua berjalan baik-baik saja dan masih tetap sama. Bumi masih berputar, matahari masih terbit dari timur dan terbenam di barat, matahari masih ada di atas dan tanah masih kuinjak. Segalanya baik-baik saja, dan masih tampak sama seperti sebelumnya. Begitu pun hati ini, masih sama saja seperti dulu, mengharapkanmu tanpa tepi.


“kau masih mengharapkannya kembali?” ucapku.


Sesaat malah kau yang tampak termenung. Tatap matamu kosong di waktu yang terasa seabad. Sesaat itu bisa aku bayangkan dan menebak yang macam-macam tentang apa yang kau renungkan. Apakah tentang kenangan indah kalian, ciuman manis pertama dan hangat, ataupun malah sebaliknya. Semuanya terasa berlompatan di kepalaku. Jemariku tanpa sadar mengetuk meja seolah menunggu jawaban.


“sudah tidak kak.”


Seolah ada angin mendesir seperti di tepi pantai. Terlihat bulan dan bintang serta pantulan cahayanya. Beberapa burung camar terbang terbang diantara derunya ombak, dan diujung sama berdiri teguh mercu suar yang menantikan pelautnya kembali pulang. Kau terdiam lagi, aku masih terjebak dengan lamunanku.


“kenapa?” ucapku. Ternyata aku lebih dahulu kembali ke bumi. Aku menegur diammu.


“mungkin bukan jodohnya.”


Aku mengangguk. Ada perasaan senang yang harus ditutupi rapat hingga tampak biasa saja. Mungkin lebih baik jika aku membuat suasana lebih sendu lagi. Tapi mungkin itu akan terlihat agak jahat. Roti bakarmu sampai. Terlihat panas begitu sampai di meja. Untuk ukuran sepuluh menit sampai, pelayanannya sungguh cepat. Roti itu begitu mengoda. Kau memandangnya lebih dahulu, seolah berpikir harus dikoyak dari mana dulu roti bakar ini. Kau cicipi sekali lalu mengatakan suatu hal yang membuatku terkejut.


“Kau tahu kak? Wanita suka laki-laki yang nekat.”


“Maksudnya?”


“Laki-laki yang datang ke rumah lalu membicarakan hal yang serius tentang masa depan.”


“Lalu, kenapa kau mengatakan itu padaku?”


“Aku ingin kamu seperti itu.”


Aku tidak ingin meneruskan topik itu, dan kau pun terus menyantap roti bakar diatas mejamu. Untuk ukuran rata-rata pria sepertiku, bukankah akan melakukan hal yang sama. Terjebak diantara mozaik atau teka-teki yang diciptakan perempuan. Bahkan oleh perempuan yang dicintai. Alhasil aku lebih memilih menatapmu dalam daripada berpikir keras tentang arti dari percakapan kita barusan. Kau tersadar jika aku menatapmu.


“kenapa menatapku seperti itu?”


“aku hanya berpikir.”


“percakapan yang barusan?”


“bukan.”


“lalu apa?”


“kenapa bisa kamu sekurus ini.”


“tolong kak, kamu jangan kurang ajar ya.”


Sekejap aku tertawa dan kau menggelembungkan pipimu seperti ikan buntal.





suatu senja ditepi kolam